Chapter 25

133 13 0
                                    

Pratinjau : Menempel bagai benalu dan terus membuatnya merasakan sakit yang teramat sangat.

***

Dia lupa mengabari Alea padahal dia sudah berjanji akan segera mengabari kekasihnya itu. Bhara menghembuskan napas dengan sedikit keras. Bagaimana dia bisa lupa begitu saja? Alea banyak sekali mengiriminya pesan dan juga telepon. Alea berkata bahwa gadis itu sangat khawatir karena tidak ada kabar dari Bhara.

Alea bertanya apa Bhara sudah sampai atau belum. Apakah Bhara jetlag. Apakah Bhara sudah makan. Apakah Bhara baik-baik saja.

"Ya ampun, gue bisa sebodoh ini lupa kasih kabar ke Alea." Bhara menghela napas dalam. "Maafin gue, Alea," gumam Bhara dengan nada bersalah.

Sorot matanya berubah sendu. Rasa bersalah mulai menjejaki hatinya.

"Gimana bisa gue biarin gadis sebaik lo untuk selalu menunggu gue yang brengsek ini?" Bhara memejamkan matanya sejenak.

Bhara segera mengetikkan pesan untuk Alea.

Bharata DK : Maaf baru kasih kabar ke lo

Gue baik-baik saja, gue baru aja sampai rumah

Tadi gue nongkrong dulu di kafe teman gue

Gue minta maaf lupa ngabarin lo, gue nggak buka handphone sejak sampai di Bali

Perempuan sehebat Alea tidak boleh dia sia-siakan hanya demi masa lalu yang terus menggerogoti hatinya. Menempel bagai benalu dan terus membuatnya merasakan sakit yang teramat sangat. Bhara harus segera memastikan hatinya. Alea atau masa lalunya, Tania.

***

Alea segera membuka pesan dari Bhara. Sudah pukul 10 malam namun Alea masih belum bisa tidur karena memikirkan Bhara yang belum juga memberinya kabar. Ketika Alea membaca pesan dari Bhara yang berisikan Bhara tiba di Bali dengan selamat, gadis itu menghembuskan napas lega.

Alea terkejut ketika handphone-nya berkedip-kedip. Laki-laki itu menelepon Alea. Dengan semangat Alea segera mengangkat telepon dari Bhara sambil menarik selimut sampai sebatas dadanya.

"Halo, Bhar?" Alea tersenyum. "Kenapa baru kasih kabar?" Alea sedikit merajuk.

"Hehehe maaf lupa tadi, ini udah kasih kabar, kan? Lo udah kangen gue?" Bhara terdengar sedang terkekeh.

"Iya, kamu hebat banget sih..." Alea mengambil napas sejenak. "Hebat banget bisa bikin aku sampai sebegininya, kamu pelet aku, ya?" Alea berkata tanpa berpikir dua kali.

Alea sudah lebih terbuka pada Bhara sekarang. Masa bodoh kalau Bhara tidak menganggapnya, toh saat ini dialah pacar Bhara dan dia berhak mengungkapkan isi hatinya.

"Gue nggak perlu melet lo kali, kan lo duluan yang jatuh cinta sama gue," Bhara memancing Alea.

"Iya 'kan kamu udah tahu dari kapan tahu kalau aku udah jatuh cinta sama kamu," Alea terus terang.

Alea memang sudah bilang ke Bhara saat mereka pergi ke Ambarukmo Plaza, membeli celana panjang kain untuk Bhara gunakan mengajar ke kampus.

"Kamu itu seperti lukisan yang sering dibuat sama adik aku, abstrak!" Alea terkekeh.

Namun dibalik tawanya, Alea sedang menahan untuk tidak bertanya kenapa sampai saat ini Bhara masih belum juga membalas perasaannya. Apa karena perempuan bernama Tania atau memang karena Bhara tipe laki-laki yang tidak mudah untuk jatuh cinta kepada perempuan yang belum genap satu tahun dikenalnya.

"Kenapa?" tanya Bhara.

Alea menatap ke depan. "Kamu nggak pernah bisa aku tebak, kamu kelihatan cinta dan nggak cinta sama aku." Alea tertawa pelan.

Bhara hanya tersenyum. "Gue pilih celana yang ini aja, ya?" katanya.

Alea menoleh dan mengangguk. Dia tidak akan memaksa Bhara.

"Ayo ke kasir!" ajak Alea.

Bhara menatap punggung Alea yang sudah lebih dulu berjalan meninggalkan dirinya menuju ke kasir.

Alea menatap langit-langit kamarnya sambil menunggu tanggapan Bhara di seberang telepon. Tapi sampai beberapa detik, Bhara masih saja terdiam tanpa suara.

"Kamu ketiduran, ya?" tanya Alea.

"Hmm?" Bhara bergumam. "Gue ngantuk banget, nih!" Bhara terdengar menguap.

Dada Alea seperti teriris sembilu. "Yasudah, istirahat dulu aja, aku tutup teleponnya kalau gitu," kata Alea.

"Oke, lo jangan tidur malam-malam," kata Bhara.

"Hmm." Alea tersenyum kecut.

Setelahnya, Alea benar-benar menutup sambungan telepon. Matanya berkedip pelan. Satu tetes air mata menetes tanpa permisi ke pipi mulus gadis itu.

Alea selalu merasa dadanya mendadak ngilu ketika mengingat nama Tania dan Bhara yang tak kunjung jatuh hati padanya. "Mungkin memang aku kurang menarik untuk Bhara yang terbiasa hidup di Jakarta dan Bali," batin Alea. "Perempuan menarik pasti juga udah banyak Bhara temui dan aku mungkin sebuah pilihan terakhir untuk Bhara yang sayangnya sangat sulit untuk Bhara cintai," Alea mengusap matanya yang sudah basah.

***

"Bhara, aku di rumah sakit," Tania menelepon Bhara.

Jangan tanyakan seberapa paniknya Bhara jika tahu perempuan itu sedang sakit apalagi sampai masuk rumah sakit. Dari dulu sampai sekarang Bhara tidak berubah.

"Kenapa bisa sampai masuk rumah sakit?!" Bhara terdengar panik. "Ikutin kata dokter dan perawat di sana, aku akan segera ke sana, jangan keras kepala!" Bhara kemudian segera berdiri dan berjalan menuju kamarnya.

Tania tersenyum bahagia mengetahui bahwa Bhara masih begitu peduli terhadapnya.

"Aku ikutin apa kata dokter dan perawat asal kamu cepat datang ke sini, aku nggak suka rumah sakit Bhara," kata Tania merajuk.

"Tunggu aku!" Bhara kemudian menutup teleponnya dan segera keluar rumah.

Tania ditemukan pingsan oleh pembantunya di kamarnya. Tania tidak memakan apapun selama 2 hari. Dia hanya minum air putih tanpa mau menyentuh makanan yang sudah disiapkan oleh Mbok Nah.

Dia stress setelah Bhara berniat untuk pergi darinya karena sejak malam mereka bertemu, Bhara sama sekali tidak mau membalas pesannya apalagi mengangkat telepon darinya. Tania sudah mencoba ke rumah Bhara. Namun, rumah Bhara kosong karena Bhara sedang menginap di rumah temannya di daerah Bedugul, setidaknya itu yang dikatakan Rico, teman dekat Bhara di Bali.

"Kenapa sampai kayak gini, hmm?" Bhara mengelus pucuk kepala Tania dengan sayang.

Bhara mengakui tidak mudah untuk melupakan Tania. Sosoknya masih begitu melekat dalam ingatan. Tania langsung menangis dan beranjak dari posisi tidurnya. Tania memeluk Bhara dengan erat yang dibalas tepukan pelan di punggungnya.

"Gimana aku nggak gila, Bhar? Kamu mau ninggalin aku gitu aja, kamu tahu suami aku nggak peduli sama aku, kami akan bercerai." Tania menangis sesenggukkan. "Dan kamu... dan kamu juga mau pergi ninggalin aku." Tania terisak.

"Tan, aku sayang sama kamu." Bhara menarik napas dalam. "Tapi... kamu masih istri Arda, kamu tahu Arda sepupu aku, kita nggak mungkin bisa sama-sama lagi, Tan," Bhara mencoba memberi penjelasan yang lebih masuk akal bagi Tania setelah melepaskan pelukan Tania.

"Keluarga aku jelas nentang kalau kita balikan, kamu tahu itu dari lama, selama ini aku masih peduli sama kamu karena aku akui susah banget buat lupa sama kamu." Bhara mampu menangkap sorot kecewa dari mata Tania. 

RehatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang