19. Liam Brandon

11 2 2
                                    

Liam Brandon...murid Rising Smartness.

Ia sangat mencolok.

Rambut gondrongnya di cat hijau neon dengan ujung warna oranye, mata bersoflen kuningnya menyorot kegilaan, dan ia memiliki bau menthol yang khas.

Tidak mungkin tidak ada yang mengenalnya, lagipula reputasinya sangat buruk.

Ia suka membully, memerintah orang, menyuap, dan berbagai tindakan kriminal lainnya.

Ditambah dengan berasal dari keluarga polisi, ia tidak bisa ditangkap.

"Dia juga pernah bikin berbagai kasus, paling banyak pelecehan. Tapi selalu lolos", mata Jimmy lalu berpindah ke Dirga, "Tapi beberapa tahun yang lalu rumornya dia melakukan pembunuhan...Ada hubungannya sama lu kah?"

Pertanyaan Jimmy didiamkan oleh Dirga. Ia enggan menjawab, hanya memasang mata tajam yang tidak tertuju kemanapun.

Jimmy menjadikan hal ini sebagai jawaban ya. Ia tersenyum lebar, kemudian menggenggam bat bisbolnya lagi.

"I've payed my debt. Then, excuse me", ucapnya membungkuk seperti bangsawan, kemudian kembali menghilang di antara kerusuhan.

Dirga berdiri seorang diri, dengan emosi meluap-luap di kepalanya. Di kepalanya terus berputar nama orang itu.

Nama yang sudah membunuh adiknya.
Orang yang sudah merenggut segalanya darinya.

Yang membuatnya bertanya-tanya adalah apa motivasi orang itu?
Apa yang telah adiknya perbuat sampai ia meregang nyawa?
Apa salah gadis manis yang tidak berdaya itu sampai harus mati ketakutan?

"Awas lu...gabakal gue maafin...Ga akan! Liam Brandon!"
_________________________________________
Naisya melangkah di koridor rumah sakit dengan karangan bunga di tangannya.

Sudah berminggu-minggu lewat dan gadis itu belum kunjung siuman. Hal ini perlahan membuatnya khawatir dengan deretan penyesalan merambat ke hatinya.

Bagaimanapun juga, akar masalahnya adalah Naisya. Seandainya dia tidak berbuat sejauh itu Amanda tidak akan mengalami kecelakaan tragis seperti ini.

Lagipula...ia berlari menghampiri Arga untuk melabrak Naisya, melempar batu kebenaran. Tapi batu itu meleset, malah menghantam pelemparnya kembali.

Naisya memasuki kamar, dan tidak sengaja bertemu dengan adik dari gadis itu.

"Oh. Temannya kakak?", tanya gadis itu duduk di bangku, menghadap ke meja yang biasa digunakan untuk meletakan makanan di rumah sakit.

"Iya, dek", senyum Naisya mendekat, sebelum ia menyadari gadis kecil itu sedang belajar dengan buku dan pulpen di tangannya.

"Ohhh kamu lagi belajar?", Naisya menaikan satu alis dengan nada yang terdengar ramah untuk anak kecil. Adiknya Amanda mengumpat malu, tapi mengakui hal itu,

"Aku ada ulangan besok. Makanya aku harus belajar sambil jagain cici"

Hati Naisya seperti ditikam.
Tidak hanya berpengaruh ke Amanda, keluargnya juga terkena imbas. Rasa bersalah Naisya menjadi besar saat melihat anak SD ini rela duduk berjam-jam di rumah sakit, menemani kakaknya yang tidak kunjung siuman. Ia bahkan tidak pergi les demi menemani kakaknya.

"Sial...", umpat Naisya dalam hati, menggenggam bouquet bunga dengan erat. Ia sampai menahan nafas melihat kenyataan yang ia buat ini.

"Ini bunga buat kakak ya?", tanya gadis itu penuh sopan santun, berdiri dari bangkunya dan menerima bunga itu, "Wah! Bunga daisy. Cici suka banget sama ini", pekik gadis itu sumringah, meletakannya bersamaan dengan deretan bunga lain yang diletakan di sudut ruangan.

DirgantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang