21. Hanya Satu

11 2 2
                                        

Arga bersiap-siap memasukan pakaian ke kopernya.

Thunder sudah mengirimkan surat undangan tawuran ke Rantai Hijau.

Tinggal tunggu waktunya

Perperangan antara rantai, dan petir.

Arga menutup kopernya dengan perasaan berkecamuk.

Takut, khawatir, marah, sedih, kecewa, semua menjadi satu.

Ia tidak ingin ini terjadi, tapi hal ini harus terjadi.

Untuk memuaskan ayahnya, yang dipanggil Mr. X oleh Dirga.

Di dalam hati Arga marah, ia bahkan menangis menghadapi hal ini. Sambil membawa kopernya, ia keluar kamar dan menuruni tangga

Ia mempertanyakan kekejaman ayahnya itu. Mengapa ia menyuruh Dirga membunuh orang? Membalas pembunuh dengan membunuh?

Ia tau bahwa ayahnya telah kehilangan segalanya. Pertama kakak tertuanya pergi meninggalkan rumah, menghilang tanpa jejak, lalu Arina dibunuh dan pelakunya tidak bisa ditangkap, dan kemudian ia kehilangan istrinya yang mengalami kanker, diperburuk saat kehilangan putri satu-satunya.

Tapi menyuruh anaknya sendiri untuk membunuh, apa hal itu benar? Apa kehilangan menjadi alasan untuk membunuh? Memanfaatkan seseorang?

Dengan air mata yang baru kering, ia menuju ke ruang tempat biasa ayahnya duduk meminum anggur.

"Ayah...aku pergi dulu", ucap Arga pamit. Ayahnya tidak berkata apa-apa, duduk menghadap jendela di atas bangku mewah, menghisap cerutu tebal yang asapnya banyak.

Tau tidak akan direspon, Arga berbalik, hendak meninggalkan ruangan. Tapi ayahnya itu memanggil,

"Arga"

Arga terhenti dilangkahnya, namun tidak membalikan tubuhnya. Ia tau apa yang diinginkan ayahnya itu.

"Saya ingin bertemu Dirga"

Dia tau itu.
Dan ia harus menuruti itu.

Lagipula, Dirga lebih disayang.

Arga meletakan kopernya, membuka salah satu resletingnya. Ia mengambil sebuah masker hitam, masker lambang Dirga.

Dengan nafas yang berat dan jantung berdebar, ia menempelkan selembar kain itu ke wajahnya, mengaitkannya ke kedua telinganya.

Matanya yang tadi bulat dipenuhi rasa takut perlahan berubah menjadi tajam diisi dengan kebencian. Jantungnya yang tadi berpacu cepat berubah menjadi tenang di hitungan detik.

Dirga telah datang.
Ia berbalik, kemudian melangkah masuk ke ruangan dan berlutut ke tuannya, Mr. X, yang secara biologis sebenarnya ayahnya.

"Heh...lucu juga", dengus Mr. X, "Tidak pernah kusangka bahwa penyakit Arga bisa mendatangkanku putra yang menguntungkan"

Ia berdiri, berbalik dan melangkah menuju Dirga, yang sebenarnya adalah Arga putranya.

"Skizofrenia dicampur dengan multiple identity disorder...tidak kusangka dari hal itu...aku jadi merasa memiliki 2 orang putra"

Setelah kematian Arina, Arga tidak dapat menerima kematian itu. Ia mengurung diri di kamar, membenci dirinya yang ia rasa lemah, lamban, dan tidak bisa apa-apa.

Setiap hari ia akan mencaci dirinya sendiri di depan kaca, mengutuknya tanpa ampun, ia akan berbicara seperti dia adalah dua orang, berdialog dengan intonasi yang berbeda-beda.

Kebencian itu perlahan menjadi tekat. Arga menginginkan sosok yang kuat, sosok yang bisa melawan apapun, yang tidak takut, yang berani menghadapi kematian sekalipun.

DirgantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang