15. Kenapa

20 3 1
                                    

Semenjak hari itu, Arga menjadi lebih dekat dengan Nai.

Sekarang dia menghargai keinginannya untuk berteman. Sebagian dirinya bersimpati ke Naisya, sebagian diri merasa bersalah karena perlakuan Amanda untuk dirinya, namun sebagian dia sedih dan bertanya-tanya mengapa Amanda sampai sebegitunya.

"Arga", panggilan Naisya menariknya kembali ke kenyataan. Kenyataan bahwa dia ada di kantin dan duduk berdua dengan Naisya, yang sebelumnya Amanda. Apalagi Naisya juga memakan semangkuk yogurt.

Entah mengapa kantin kali ini sepi. Tidak ada suara dari speaker ataupun percakapan. Hanya ada dengungan rendah mesin penerima pesanan makanan.

Arga mengerjapkan matanya, "Iya kenapa Nai?". Naisya sadar kalau Arga tidak mendengarkannya, ocehannya barusan hanya melintas.

Naisya pun menelengkan kepala, "Lu...kepikiran Amanda ya?",

Lucunya tebakan itu cukup benar. Tapi sekarang ini Arga lebih mempertanyakan alasanya, bukan pelakunya.

Arga pun tersenyum tipis, "Mungkin...", dia pun berusaha mengalihkan pertanyaannya, "Jadi gimana? Badan lu masih sakit?"

Gadis yang badannya masih biru-biru itu menyeruput melon soda, membasahi kerongkongan dan memberikan kesegaran. Ia mengangguk sebelum menjawab,

"Dibanding hari itu, sekarang mendingan hehe...", tawa Naisya gugup. Sama sekali tidak terlintas dipikiran Arga kalau Naisya menipunya juga.

"Jadi Nai...lu dipukulin Amanda?", tanya Arga. Sampai sekarangpun Naisya enggan bercerita, bahkan sendok yogurt yang awalnya ingin masuk mulut, ditariknya kembali.

Wajah Naisya menjadi muram, dan sendoknya kembali ke mangkuk seolah hilang niat makan. Naisya terkekeh lemah dan tersenyum kaku, seolah mengulur waktu agar tidak bercerita. Tapi Arga menangkap ini sebagai bentuk trauma, dia tidak mau memaksanya, maka itu dia bertanya,

"Pulang sekolah nanti, kita jalan-jalan yuk?", ajaknya sedikit tersenyum. Naisya terkejut membulatkan mata, "Jalan-jalan ke mana?",

"Yah...kita keliling Jakarta pake mobil. Kalo ada yang menarik ya...kita berhenti dulu", ucap Arga tersenyum simpul. Naisya terdiam dan meletakan tangan di dagu seolah berpikir, setelah beberapa saat, ia kembali menatap teman barunya itu.

"Jemput ya", senyumnya lebar, seolah menghapus semua kesakitannya.

Malamnya. Arga bersiap keluar dengan denim dan kaos putihnya, ia menuruni tangga ke lantai bawah yang gelap dan sepi. Orang tua atau kakaknya tidak akan peduli dia kemana, maka itu dia melewati pintu kamar orang tuanya tanpa mengetuk ataupun berkata.

Ia mengambil kunci mobil di dalam laci marmer putih. Lalu ia segera keluar dan berangkat dengan mobil Lexus hitamnya.

Dia tau dimana rumah Naisya. Tidak begitu jauh dari rumahnya tapi jauh dari sekolah. Mungkin itu alasan kenapa Naisya mengendarai mobil ke sekolah.

Setelah beberapa saat, ia memarkirkan mobil di depan pagar rumah Naisya. Setelah memindahkan gigi ke P dan menarik rem tangannya, ia mengambil handphone di cup holder dan mengontak Naisya.

'Nai'
'Udah sampe'

P

esan itu langsung dibaca, namun tidak dibalas. Sesuai ekspetasi Arga, Naisya keluar pintu dengan celana panjang dan sweater, untuk menutupi luka-lukanya yang sebenarnya palsu.

Setelah menggembok pagarnya, ia masuk ke kursi penumpang.

"Gue sempet kira lu Dirga lho. Tapi rupanya Arga", ledek Naisya menarik seat belt. Ia kemudian menoleh ke Arga sambil tersenyum,

DirgantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang