4. Amanda

119 17 3
                                    

"Yak. Hari ini gue bakal ngorek info Arga", batin Naisya mengepalkan tinjunya dengan semangat.

Selama berhari-hari ia mencoba menanyakan tentang Arga ke murid-murid sekitar. Dia juga memperhatikan Arga dan Amanda

Daripada sahabat, mereka terasa seperti orang yang ditempelkan bersama tanpa komunikasi, ataupun kontak. Dan dihubungan mereka berdua cukup kompleks.

Seperti biasa, Naisya mengganggu Arga dengan kekepoannya. Bertanya-tanya hal yang sangat pribadi

"Nama lu Arga doang?"
"Engga"
"Terus kepanjangannya apa?"
"Ga ah"

Lagi

"Punya berapa sodara?"

Amanda langsung memotong, "Naisya tolong jangan gitu dong", tegurnya mulai menunjukan rasa risih. Arga juga terdiam, melamun dalam kesedihan.

"Gue cuma nanya elah", keluh Naisya dongkol, membuat Amanda kesal. Memang gadis ini dari awal kelas kepala, arogan. Namun ia cukup populer di waktu yang singkat. Tidak perlu disebutkan berapa teman yang ia buat.

Arga menunduk, "Kalo gue jawab. Lu mesti janji buat ga nanya-nanya lagi", katanya dengan lirih, menahan kesakitan.

"Ga...lu ga perlu...", belum selesai Amanda berbicara, lagi-lagi Naisya memotong,
"Yaudah! Jawab dong!"

Arga menghela nafas, dengan berat hati ia menjawab,
"Seharusnya kita bertiga",
Sebelum meninggalkan mereka berdua.

"Seharusnya? Apa ada yang meningg-"
"Sya! Lu stop gangguin Arga lah! Dia ga suka dipaksa begitu lho!", omel Amanda berbalik melototi Naisya, sebelum pergi dengan langkah yang lebar dan kasar.

Bukannya berhenti, tapi Naisya malah semakin jadi. Kali ini dia malah bertanya ke teman-teman.

Bukan
Ia bertanya ke semua orang.

Mereka rata-rata bilang gatau, tapi ga sedikit yang malah cie-ciein bilangnya Naisya naksir.

Tapi setelah ledekan itu, mereka malah bilang.
"Jangan dideketin, nyesel lu nanti. Dia freak tau! Diem mulu ga jelas! Dia juga gada temen selain si Amanda itu!"

"Emang gimana sih ceritanya bedua itu bisa jadi temen?", tanya Naisya ke temannya yang lain. Padahal bisa aja dia langsung tanya Amanda. Tapi sayang narasumbernya malah mengangkat bahu.

"Entahlah. Semenjak masuk mereka deket. Mungkin emang dari sebelum masuk mereka udah temenan", jawab temannya yang berkacamata dengan bekas tindikan disana sini. Naisya bersender ke kaca sambil manggut-manggut,

"Rico, lu beneran ga pernah ngobrol ama Arga? Atau tau sesuatu tentang dia gitu?", tanya Naisya lagi. Rico menyilangkan tangannya berusaha mikir, bersender ke kaca yang memamerkan keindahan langit Jakarta.

"Kita ga sekelas dari dulu sih...bahkan gue ga ikut MOS hari itu hehe", kekehnya sebelum melanjutkan, "Arga ya...ga pernah. Ga pernah ngobrol", jawabnya.

Mendengar itu, Naisya menghela nafas kecewa. Nampaknya tidak ada yang pernah berbicara pada Arga selain Amanda. Se ansos itu kah?

"Gue kaget sih pas tau lu masuk kesini. Apalagi pertengahan semester", Rico mengalihkan percakapan. Naisya mendengus, "Lu tau sendiri sekolah ntu satu gimana"

Rico ikut terkekeh, "Mengajarkan murid sulitnya hidup ya...motto yang bagus tapi sedikit kasar"

"Hehe. Lu liat ambisnya kan waktu itu? Sampe lu kalah balap", ledek Naisya mengetaui bahwa Rico adalah pembalap jalanan dengan mobil sports mewah.

"Iya. Gue kalah ama pendatang baru njir, malu-maluin", kekeh Rico mengingat hari ia balapan, hari-hari itu. "Gue denger...kondisi dia juga...nurun?", tanyanya kemudian.

DirgantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang