Diluar, hujan turun perlahan. Memang tidak deras, tapi rintikannya itu sedikit demi sedikit membasahi tanah, membuat siapapun dibuat malas untuk beraktifitas di luar rumah. Tak terkecuali Tania. Gadis itu diharuskan untuk pergi ke sekolah menemui pak Bimo sore ini juga. Dalam hati, Tania merutuk kesal.
Meski sudah disiapkan jas hujan dan payung oleh mama, namun tetap saja Tania menggerutu. Baginya, sore seperti ini lebih baik dihabiskan dengan rebahan, sembari mendengarkan musik favoritnya. Namun rasanya hal itu mustahil untuk dilakukan hari ini.
"Ini udah jam tiga lebih lima belas. Kamu nggak takut telat?" Tanya mama yang ikut menunggui Tania di ruang tamu.
Embusan napas terdengar. Cewek dengan kardigan berwarna krem itu melirik sudut kiri atas ponselnya.
"Masih hujan, ma."
"Tapi, 'kan kamu bisa minta dianter pak Rudi. Ya, mama panggilin, ya? Takutnya kamu telat." Mama berujar cemas. Mau tak mau, Tania mengangguk juga.
Sementara itu mama langsung bergegas keluar, memanggil Pak Rudi yang sepertinya masih tertidur di pos satpam. Tak berselang lama, wanita itu kembali, bersama dengan seorang lelaki di belakangnya.
"Nih, Pak Rudi nya. Ayo sana kamu berangkat!"
Tania mengangguk dengan sedikit tidak rela.
"Yaudah, aku berangkat dulu." Gadis itu menyalami tangan mamanya sopan. Gina, mama Tania lantas tersenyum.
"Hati-hati, sayang."
"Iya, ma."
Mobil yang Tania tumpangi sudah melaju, membelah keramaian jalan raya yang basah sore ini. Wiper di kaca itu terus bergerak, berupaya menghalau air hujan agar pengemudi bisa melihat depan dengan jelas. Hening menyelimuti.
"Pak Rudi nanti sore bisa jemput aku nggak?"
"Wah, nanti sore kayaknya nggak bisa, neng. Saya mau nganter bapak ke toko material." Lelaki setengah baya itu menatap Tania lewat kaca mobil. Dapat Tania lihat, pak Rudi sedikit merasa tak enak.
Gadis itu diam sejenak. Papanya akan pergi ke toko material? Buat apa?
"Ah, yaudah, pak. Enggak papa. Nanti aku naik taksi aja."
"Maaf ya, neng."
Tania hanya mengangguk. Pandangannya kembali ia alihkan ke jendela. Memandang pemandangan jalanan yang nampak indah ketika hujan tiba. Tania jadi berfikir, jika hujan-hujan begini, enaknya naik motor bersama pacar. Ah, indahnya!
Sedang asyik memikirkan hal seperti itu, tiba-tiba saja Tania dikejutkan oleh mobilnya yang berhenti mendadak.
"Kenapa, pak?"
"Nggak tau. Kayaknya mogok nih. Sebentar, bapak cek dulu."
Tania hanya bisa diam, menatap Pak Rudi yang keluar dengan sebuah payung. Apa mungkin ini karena lamunannya tadi? Namun Tania segera menepis pikiran itu.
"Maaf, neng. Mobilnya mogok. Bapak nggak bisa benerin. Kayaknya harus dibawa ke bengkel."
Tania menghela napas. Lalu ia harus bagaimana?
"Yah, terus gimana dong, pak?"
Pak Rudi menggeleng. Tania kini pasrah, menggigit ibu jarinya. Bagaimana ini? Apa ia harus pulang saja? Ah, tapi sepertinya tidak mungkin mengingat deringan ponsel yang sedari tadi berbunyi. Mungkin saja itu panggilan dari Pak Bimo yang tengah mencari keberadaannya.
Dengan berbekal payung yang berada di kursi belakang, Tania keluar dari mobil itu. Ia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Jaraknya dari sini ke sekolah juga tak jauh-jauh amat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Erlan untuk Tania
Teen FictionDariku, yang mencintaimu dengan sederhana. *** Erlan tidak tahu, apakah mengenal Tania merupakan sebuah anugerah, atau justru kesialan baginya. Pasalnya, semenjak mengenal Tania hidup Erlan makin berantakan! Mulai dari kena fitnah sembarangan, bolak...