00.06 | Tamu

31 10 1
                                    

Ada kalanya peduli kita dianggap beda oleh mereka.

***

Dinginnya AC di ruangan berwarna krem itu nyatanya tak membuat suasana menjadi sejuk. Justru sebaliknya, atmosfer di ruangan itu malah terlihat tegang.

Beberapa kali Tania menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung menghadapi deretan angka-angka di kertas putih yang terletak di hadapannya.

Meskipun hanya latihan biasa, namun hal itu tak membuat Tania, Kresna, dan juga Belva menganggap enteng soal-soal itu. Soal untuk bekal persiapan mereka terhadap olimpiade satu setengah bulan mendatang.

"Wait. Ini kayaknya pak Bimo pernah ngajarin deh. Kres, lo tahu nomor enam nggak?" Tania bertanya pada Kresna.

Cowok itu mengamati soal nomor enam. "Iya. Ini sebenernya mudah. Cuma lo harus pinter-pinter nge logika aja."

Kresna beranjak dari duduknya yang berada di seberang Tania. Ia mendekat, mengajari Tania tentang rumus soal nomor enam. Dirasa paham, Tania kemudian tersenyum.

"Thanks, ya."

"Anytime. Jangan sungkan kalo mau nanya."

Lain dengan Tania, lain dengan Belva. Cewek berambut panjang bergelombang itu malah terlihat tak se-excited biasanya. Beberapa kali Kresna memergokinya yang tengah melamun.

"Gimana? Ada yang nggak dipahami?" Guru lelaki berusia lima puluhan itu memasuki perpustakaan, menghampiri anak didiknya yang tengah mengerjakan soal.

"Ada beberapa sih, pak. Tapi, ya, kita coba kerjain aja sebisanya. Nanti kalo jawabannya salah baru bapak bisa jelasin," ucap Kresna membuat Pak Bimo tersenyum bangga menatap salah satu murid kesayangannya.

"Bagus. Oh iya, bapak minta kalian jangan hanya terpaku pada satu soal saja. Karena masih banyak soal-soal di belakang yang siapa tahu lebih mudah dari soal itu. Jadi persiapkan strategi kalian."

"Mengerti?"

Tania dan Kresna mengangguk. "Iya, pak."

Pak Bimo menatap anak didiknya satu persatu, seperti merasa ada yang kurang. Tatapannya jatuh pada Belva yang terlihat mencoret-coret kertas di depannya.

"Belva?"

"Belva kamu dengar saya?"

Cewek itu terlonjak. Bolpoinnya bahkan sampai jatuh ke lantai. "I-iya, Pak."

"Ya sudah. Kalau gitu bapak keluar dulu."

"Belva, are u okay?" Tanya Tania selepas pak Bimo meninggalkan perpustakaan.

Belva mengangguk. "Gue nggak papa."

"Tapi kayaknya lo jauh dari kata 'nggak papa'. Ada masalah? Lo bisa cerita ke kita," ucap Kresna. Cowok itu masih tak mengalihkan pandangannya dari rumus.

Belva menghela napas pelan. "Biasa, Masalah keluarga. Dan gue rasa ini privasi. Jadi jangan paksa gue buat cerita," ucapnya agak ketus.

Tania dan Kresna berpandangan.

"Yaudah kalo gitu. Jaga kesehatan aja. Jangan terlalu dipikirin," ujar Tania mengusap bahu temannya.

"Gimana nggak dipikirin sih, Tan? Coba lo di posisi gue. Gimana kalo bokap nyokap lo terus-terusan bertengkar. Sementara lo bakal diem aja gitu?"

Tania terkejut. Bukan itu maksudnya ia berkata seperti tadi. Belva salah paham.

"Maksud Tania bukan kayak gitu, Bel. Dia cuma-"

Dari Erlan untuk TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang