Perhatian itu bisa dari siapa saja, dan dimana saja. Bukan perihal orangnya, namun perihal maknanya.
***
Tania terbangun saat jam digital di atas meja belajarnya menunjukkan pukul satu dini hari. Gadis itu mengucek mata, mengumpulkan seluruh kesadarannya. Sejak malam tadi, badan Tania memang sedikit demam. Ia juga merasakan pusing di kepala sehingga susah tidur nyenyak. Mungkin ini efek dari hujan-hujanan bersama Erlan.
Tania menyibakkan selimut. Mungkin dengan meminum segelas air putih akan membuat panasnya sedikit berkurang. Tania menyalakan lampu kamar. Setelahnya, cewek itu bergegas menuruni tangga untuk menuju dapur.
Matanya menyipit saat mendapati lampu dapur yang menyala terang. Seingatnya, lampu itu selalu dimatikan tiap malam tiba.
"Kak Dion?" Tania mendapati seorang cowok tengah duduk di kursi meja makan sembari tersenyum menatap ponselnya.
"Lo belum tidur?" Dion menoleh. Di meja makan, terdapat satu mangkok bekas mie instan yang isinya sudah tandas, membuat Tania paham mengapa sekarang Dion ada disini.
Tangan Tania tergerak mengambil gelas serta menuangkan air. "Kebangun. Nggak enak badan."
Dion merupakan kakak sepupu Tania yang kebetulan tinggal satu komplek dengannya. Orang tua Tania sangat sibuk mengurusi pekerjaan. Dan tadi malam, gadis itu sendiri yang meminta Dion untuk menginap, sekaligus menemaninya.
"Lagian siapa suruh main hujan-hujanan. Kayak anak paud aja lo." Tania hanya mencebikkan bibir, membiarkan tangan Dion menyentuh dahinya.
"Anget. Mau gue kompres? Atau ambilin obat-obatan? Di kotak obat ada-"
"Cuma demam biasa kok, kak. Nggak usah sekhawatir itu kali." Tania terkekeh. Ia lalu meneguk segelas air putih itu hingga habis.
"Oh iya, lo ngapain senyum-senyum nggak jelas kayak tadi?" Tania melayangkan pertanyaan untuk Dion yang kini duduk di kursi sebelahnya.
"Biasa. Urusan percintaan. Lo mana paham, orang otak lo isinya matematika doang," ucap Dion. Ucapan itu memang tak sepenuhnya salah. Namun Tania tetap saja merasa tak terima. Gadis itu memilih diam.
"Makan mi instan lagi?" Pandangan Tania teralih pada mangkok bekas Dion tadi.
"Abisnya rumah lo kayak penjara. Nggak ada makanan sama sekali." Dion mendengus. Sementara Tania menyengir, sedikit merasa tak enak.
"Ya maap. Kan lo tahu sendiri gimana keadaan gue. Mama papa belakangan ini jarang ada di rumah. Bibi juga jarang masak gara-gara gue selalu pulang sore." Cewek itu tersenyum miris.
Dion mengusap rambut Tania. "Nggak papa. Sekarang mending lo tidur, biar nggak pusing."
"Iya, gue mau tidur. Lo masih mau disini?"
"Gue mau ke kamar atas aja. Sekalian nemenin lo."
Tania tersenyum. Ini yang paling ia sukai dari Dion. Selain sangat peka, cowok itu juga sangat perhatian membuat Tania kadangkala tak merasa kesepian lagi. Sayangnya ia merupakan anak tunggal. Jadi sudah tak ada harapan lagi bagi Tania untuk bisa punya kakak sebaik Dion.
"Ayo." Dion merangkul Tania, mengantar cewek itu sampai ke depan pintu kamarnya.
"Lo beneran nggak mau dikompres?"
"Nggak usah, kak. Beneran."
"Yaudah. Kalo gitu lo masuk. Gue ada di kamar sebelah. Jadi kalo butuh apa apa tinggal panggil aja." Sekali lagi, cowok itu mengusap kepala Tania pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Erlan untuk Tania
Roman pour AdolescentsDariku, yang mencintaimu dengan sederhana. *** Erlan tidak tahu, apakah mengenal Tania merupakan sebuah anugerah, atau justru kesialan baginya. Pasalnya, semenjak mengenal Tania hidup Erlan makin berantakan! Mulai dari kena fitnah sembarangan, bolak...