00.07 | Sedikit Masalah

31 10 1
                                    

Jika biasanya olahraga dilakukan di lapangan yang super panas, kali ini tidak. Langit di atas sana tak sebiru biasanya. Ada gumpalan-gumpalan awan hitam yang berjejer, bersiap menumpahkan isinya.

Erlan membiarkan teman-temannya berlalu, menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Cowok itu lebih memilih untuk menidurkan kepalanya ke atas meja, menjadikan kedua tangan sebagai sandaran.

Kelas sudah sepi. Sama seperti suasana hati Erlan. Paperbag yang berada meja sebelah kanan itu Erlan tatap dengan malas.

Meski sudah menyumpal kedua telinganya menggunakan earphone Yesa—yang didapatkannya dengan setengah memaksa—, namun tetap saja suara itu tak hilang dari kepalanya.

Bukan, ini bukan suara hantu di pojokan kelas, bukan juga suara ceramah pak Sumardi, ataupun suara jeritan Ifa ketika ditakuti kecoa. Melainkan suara papanya tadi, saat lelaki itu mendatanginya di sekolah.

Suara yang saat kecil selalu ia rindukan.

"Lano?" Erlan terlonjak. Ia sangat mengenali panggilan itu. Diangkatnya kepalanya perlahan, menoleh ke jendela dengan was-was.

"Kenapa, Pris?"

Itu Priska. Cewek berambut hitam panjang yang kini menatapnya dari luar jendela dengan tatapan datar. Hampir saja jantung Erlan berpindah dari tempatnya.

"Nggak." Setelah berucap seperti itu, Priska pergi darisana.

"Sialan! Tuh cewek bikin gue jantungan aja."

"Jangan di kelas sendirian. Mendung," ucap suara yang sama dari arah jendela. Erlan kembali menoleh.

"Lo? Bukannya tadi udah pergi?" Bulu kuduk Erlan meremang, memandang Priska yang setia membisu. Namun Priska tidak menjawab. Gadis itu malah mengambil botol minuman yang entah sejak kapan berada di lantai, lantas pergi.

Kesal karena tak mendapatkan jawaban, Erlan akhirnya kembali menelungkupkan kepala. Ia sebenarnya ingin ikut olahraga. Tapi hatinya berkata tidak.

Matanya terpejam. Semilir angin, ditambah suasana khas mendung membuat Erlan ngantuk. Namun suara di pikirannya tadi benar-benar tak bisa enyah.

"Minggu depan ikut papa, ya?"

Sebenarnya ini bukan kali pertama Papa Erlan menyuruh cowok itu untuk melakukan sesuatu. Erlan paham, papanya selalu datang karena ada maunya. Entah menuntutnya sesuatu, atau yang lain membuat Erlan jengah.

Mata Erlan berkaca-kaca walau masih terpejam. Dadanya sesak tentu saja. Kalau bisa, ia ingin menangis sekencang-kencangnya. Namun itu jelas tak mungkin.

Langit masih saja kelabu, belum menumpahkan titik-titik air. Suasana kelas Erlan semakin sepi. Cowok itu kemudian mengangkat kepalanya yang pening. Tetesan air di pipi ia usap dengan kasar. Ia tidak boleh terlihat lemah hanya karena papa.

Berniat untuk membasuh muka ke kamar mandi, Erlan lalu beranjak. Cowok itu merasakan ada sesuatu yang aneh. Erlan mengusap hidungnya, lantas terkekeh begitu menyadari ada cairan merah pekat disana.

***

"Lo nggak papa?"

Kalimat itu adalah yang pertama kali terlontar dari mulut Yesa ketika dirinya mendapati Erlan bertingkah tak seperti biasanya. Di pergantian menuju jam terakhir, cowok dengan bekas luka di kening itu masih saja menelungkupkan kepala.

Erlan bergeming, masih setia pada posisinya. Tangan Yesa terulur untuk mengecek dahi Erlan. Panas dapat ia rasakan.

"Lo sakit?"

Tak ada jawaban. Yesa langsung menarik tangan Erlan dengan paksa, lantas mengecek denyut nadinya. Beruntung, Erlan ternyata masih hidup.

Tatapan tajam Erlan mengarah pada Yesa. Yang ditatap hanya menyengir. Mata sipit Yesa membentuk sebuah garis lurus.

Dari Erlan untuk TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang