00.23 | Kecewa (?)

22 4 8
                                    

Sudah bertekad untuk tak jatuh hati, namun rupanya hati ini tak tahu diri. Dengan mengharapkan ia yang jelas-jelas telah pergi.

***

Bau nasi goreng itu sudah menguar memenuhi seisi dapur. Erlan menuruni tangga, menghampiri mama yang terlihat sibuk menuangkan kecap ke dalam wajan.

"Mau Erlan bantu, ma?"

"Nggak usah, Lan. Kamu duduk aja. Bentar lagi jadi kok."

"Udah, nggak papa, biar Erlan bantu."

Cowok itu bersikeras untuk membantu, jadilah Diana tak bisa menolak. Akhirnya Erlan memilih untuk memindahkan wajan dan bekas piring kotor ke wastafel, serta mencucinya disana.

"Kak Darren belum bangun?" Tanyanya di sela-sela kegiatan mencuci piring.

"Udah tadi. Tapi pamit, katanya mau jalan-jalan pagi. Nggak tau sama siapa."

"Palingan sendirian. Emang sama siapa lagi?" Erlan terkekeh. Mana mungkin kakaknya punya pacar? Ngomong sama lawan jenis aja minder!

Entah sejak kapan, Erlan merasa bahwa kakaknya itu menjaga jarak dengan perempuan. Terbukti dari sikap Darren ketika diajak bicara, atau berinteraksi dengan lawan jenis.

Pernah waktu itu Darren akan dijodohkan dengan anak temannya mama. Tapi baru sekali bertemu saja, ia langsung menunjukkan ekspresi risih. Alhasil, cewek yang akan dijodohkan itu menentang perjodohannya.

"Ssstt! Kamu nggak tau aja sekarang Darren udah punya kecengan," bisik Diana sambil menyeduh teh.

"Hah?" Erlan terlonjak, hampir saja piring di tangannya jatuh. Bergegas, ia berbalik badan setelah mematikan keran yang masih menyala deras.

"Yang bener, ma? Siapa? Kok aku nggak tau sih?"

Diana terkekeh melihat ekspresi anaknya. Baju putih polos dengan kolor selutut motif polkadot, kedua tangan basah penuh busa, bahkan busa itu juga menempel di pipi sebelah kiri.

"Selesaiian dulu cuci piringnya, baru nanti mama cerita."

Meski berat, tapi akhirnya Erlan menurut. Membilas piring kotor dengan air bersih, kemudian lanjut menatanya rapih di rak piring.

"Jadi, siapa cewek yang lagi deket sama kak Darren?" Erlan memerhatikan nasi goreng yang tengah dipindahkan mama dari wajan ke piringnya.

"Mama nggak tau namanya. Cuma lihat dari foto doang. Itupun kakak kamu langsung ngejauhin ponselnya dari mama."

Erlan mangut-mangut. Menunggu Diana melanjutkan ceritanya. Ini adalah kabar hot, dan Erlan tak mau tertinggal berita dari mamanya, meski hanya satu kata.

"Rambutnya panjang, kulitnya putih, manis banget anaknya."

"Terus-terus? Di foto dia pake baju warna apa?"

"Apa, ya? Mama lupa. Kalau nggak salah make atasan warna coklat." Diana mengingat sesuatu.

"Selebgram kali, ma. Atau paling kak Darren suka sama tuh cewek, tapi ceweknya nggak suka balik," gurau Erlan. Ia tertawa di akhir kalimat, membuat Diana mendelik.

"Udah-udah, ah. Kok malah jadi bahas cewek. Mendingan kamu makan. Habisin nasi gorengnya biar cepet gede."

"Iya, iya."

Tak butuh waktu lama untuk sepiring nasi itu berpindah ke perut Erlan. Setelah bersendawa kecil, ia bangkit. Memindahkan bekas piring ke wastafel dan mencuci tangan disana.

"Mau kemana, Lan?" Tanya Diana menyadari gelagat Erlan yang sejak tadi terus menatap jam dinding dapur.

"Rumah om Farhan."

Dari Erlan untuk TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang