Jika saja ia mampu ...
***
Ruang keluarga bernuansa putih itu tak sehangat biasanya. Terlihat seorang anak laki laki yang mengenakan kaos putih polos terduduk di sebuah sofa dengan lelaki paruh baya di sebelahnya.
"Erlan nggak mau papa pergi." Anak itu meremas kedua tanganya, memainkan jari jari mungilnya disana. Kedua matanya menyorotkan permohonan, agar pembicaraan orang tuanya yang tidak sengaja ia dengar tadi pagi tidak terjadi.
Namun tak dapat dicegah, mata Erlan langsung berkaca-kaca.
Orang itu, papa Erlan mengusap punggung anaknya. "Erlan, papa harus pergi."
"Tapi kenapa?"
"Ini masalah orang tua, nak. Kamu nggak akan ngerti. Papa sama Mama udah nggak bisa bersatu. Nggak bisa bareng lagi."
"Berarti kalo gitu, aku bukan anak papa lagi dong?" Setetes air bening jatuh melewati pipi putih Erlan, anak yang jarang menangis, bahkan bisa dibilang tidak pernah. Tapi kali ini tidak. Erlan menangis.
Kedua tangannya yang tadi ia letakkan di atas paha kini berpindah menutupi wajahnya yang dijatuhi buliran air mata. Isakan kecil juga terdengar.
Kenapa hari ini hanya ada papa saja? Dimana mamanya? Dimana kakak dan juga adiknya?
"Nggak, sayang. Ada papa. Papa bakalan tetep jadi papa kamu. Sampai kapanpun."
"Erlan kan abang. Jangan nangis dong," ucap lelaki itu berusaha menenangkan. Masih setia dengan tangan yang mengusap punggung anaknya.
"Nanti aku disini sendirian."
"Kamu ikut papa."
Anak itu menghentikan tangisnya, kemudian menatap papa dengan sorot mata bingung. Berusaha memahami apa yang tadi papanya sampaikan, butuh beberapa saat bagi Erlan. Sampai kemudian ia bisa menangkap apa yang dimaksud papa dalam ucapannya barusan.
Kata papa, papa dan mama tidak bisa bersama lagi.
Dan kata papa, Erlan harus ikut papa.
Itu artinya, papa akan memisahkannya dengan mama.
"Papa jahat!"
"Erlan, tunggu! Papa belum selesai bicara sama kamu." Terlambat. Erlan sudah beranjak, lantas berlari sekuat yang ia mampu menuju tangga.
"Papa jahat! Erlan nggak mau sama papa. Papa jahat!"
Brakk!
Pintu kamar Erlan sudah dikunci dari dalam. Air mata anak itu berlinangan, serta isakan-isakan keras yang sudah tak bisa dipertahankan.
Hari ini, lelaki itu telah mengubah sudut pandang Erlan tentang papa.
Dan hari ini juga, sikap Erlan terhadap papanya sudah tidak lagi sama.
Erlan benci papa.
"Papa ...."
Cowok itu terkesiap. Keringat membanjiri seluruh badan. Dadanya naik turun, karena mimpi buruk yang baru saja ia alami. Mimpi yang mengingatkannya tentang kejadian beberapa waktu silam.
"Sial!"
Erlan mengusap dadanya. Gemuruh disana begitu terasa saat Erlan menyentuhnya. Dan tanpa disadari, mata Erlan basah.
Cowok itu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Rupanya ini belum malam. Rambutnya pun masih basah karena mandi tadi sore. Jam menunjukkan pukul tujuh malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Erlan untuk Tania
Подростковая литератураDariku, yang mencintaimu dengan sederhana. *** Erlan tidak tahu, apakah mengenal Tania merupakan sebuah anugerah, atau justru kesialan baginya. Pasalnya, semenjak mengenal Tania hidup Erlan makin berantakan! Mulai dari kena fitnah sembarangan, bolak...