Karena bahagia itu sederhana.
***
Yesa menurut saja ketika ia diseret Erlan untuk menemaninya ke minimarket. Cowok yang masih mengenakan seragam sekolah dibalut jaket abu-abu itu sejak tadi belum menemukan apa yang akan dibelinya.
"Udah gue bilang, Tania nggak suka kacang, Lan." Yesa berujar begitu melihat Erlan yang akan mengambil snak yang mengandung kacang.
"Tania bener juga ya, Sa. Kacang itu kan nggak enak. Kecuali martabak," ucap Erlan tanpa menoleh ke arah Yesa.
Gue aja daritadi dikacangin, Lan.
"Capek gue muter-muter terus," gerutu Yesa kesal. Sementara Erlan tak peduli. Cowok itu malah mendengus sambil memilih-milih apa yang akan dibelinya.
"Lemah lo, ah. Masa gini doang capek. Liat nih! Gue yang bawa keranjang aja nggak capek." Erlan menunjuk satu buah keranjang khas minimarket dengan wajah polos.
"Ya iyalah nggak capek. Orang keranjangnya isinya dua botol minuman doang."
Benar apa yang dikatakan Yesa, keranjang itu memang hanya berisi dua botol minuman teh milik Erlan dan Yesa. Yesa sebetulnya sudah haus. Namun ia harus sabar mengingat Erlan yang tadi siang sudah mentraktirnya di kantin.
"Gue beliin ini aja kali, ya?" Tangan Erlan terulur, mengambil satu bungkus roti tawar tanpa selai.
"Boleh tuh. Sekalian buah-buahan," imbuh Yesa yang kini juga ikut memilih beberapa buah-buahan yang dibungkus di wadah menyerupai mika.
"Sa, Tania sukanya warna apa?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari mulut Erlan, membuat Yesa mengernyit.
"Setau gue dia nggak terlalu suka warna pink. Tapi gue sering liat dia pake warna biru sih," jawabnya sembari mengingat ingat. Kalau tak salah, biru itu merupakan warna favorit Tania.
"Oh gitu, berarti warna biru aja."
Yesa menoleh, menatap Erlan yang buru-buru menyembunyikan benda itu. "Itu apaan sih?"
"Rahasia. Hanya aku, Tuhan, dan Tania yang boleh tahu." Erlan terkekeh mengabaikan tatapan ingin tahu sahabatnya.
"Alah. Sok banget, lo."
"Udah, yuk, Sa. Kayaknya gue cuma mau beli ini doang," ucap Erlan setelah mengambil beberapa makanan ringan.
"Yakin? Jadi beli buahnya nggak?"
Erlan berfikir sejenak, takut uangnya kurang. Cowok itu memang tak membawa banyak uang. "Nggak deh, Sa. Nanti kalo uangnya kurang gimana? Lo juga nggak mau bayarin, 'kan?"
Yesa mendengus.
Bukannya ia tidak mau. Hanya saja, uang sakunya sudah habis. Cowok itu membuntuti Erlan yang tengah berjalan menuju kasir.
Sementara Erlan, ia tak sabar menuju rumah Tania. Tak sabar melihat reaksi cewek itu terhadap benda berwarna biru yang tadi dibelinya.
***
Erlan dan Yesa sudah sampai di rumah Tania setengah jam yang lalu.
"Harusnya kalian nggak perlu repot-repot. Tapi makasih banyak," tukas Tania tersenyum lebar.
"Sama-sama. Anggep aja sebagai permintaan maaf gue soal kemarin."
"Bukan salah lo kok, Lan. Gue nya aja yang nggak hati-hati." Tania tertawa. Tawa yang entah mengapa berhasil membuat rasa bersalah Erlan semakin besar.
Cowok itu menggapai tangan kanan Tania, mengusapnya dengan hati-hati. "Lo udah minum obat?"
Tania mengangguk. "Udah, Lan. Udah agak mendingan juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Erlan untuk Tania
Dla nastolatkówDariku, yang mencintaimu dengan sederhana. *** Erlan tidak tahu, apakah mengenal Tania merupakan sebuah anugerah, atau justru kesialan baginya. Pasalnya, semenjak mengenal Tania hidup Erlan makin berantakan! Mulai dari kena fitnah sembarangan, bolak...