Part 37

2.6K 211 89
                                    

Happy reading!

+

Jen P.O.V

Udah lebih dari 1 jam, gue duduk didepan meja riasnya Ari. Menopang dagu dengan tangan kiri sambil menatap pantulan diri di cermin. Ari sama Taylor udah neriakin nama gue dan nyuruh supaya cepat-cepat, kata nya sih gak mau terlambat. Padahal jam juga baru 8:30, acara dimulai jam 9:00. Masih ada waktu buat mempersiapkan diri. Gue gak mau tampil aneh di depan Kak Austin nanti, kan nanti malu.

Ini hari yang paling bersejarah buat dia sekaligus hari yang paling gue hindari. Ya, dia wisuda. Kemaren, tepatnya pas udah selesai makan malam berenam, Kak Austin bilang kalau kita harus datang ke acara wisuda dia. Kalau bisa paling depan.

“Astaga, Jen! Lo kenapa di depan kaca mulu? Gue tau muka lo jelek, tapi tolong jangan terlalu diratapin gitu dong.” Kata Ari polos.

“Yaelah temen sendiri lo bilangin jelek, Ari. Lah kalau dia jelek, lo apa dong? Buruk?.” Taylor membela gue, ah, tumben dia baik, “Gue gak bela lo, Jen. jadi gak usah ke ge-er-an. Ayo buruan.”

Oke, taylor emang terlahir buat jadi jahat

“Eh, tunggu deh!,” gue menghentikan mereka yang mulai keluar kamar, mereka menoleh seraya memasang muka bertanya, “Gue udah cantik gak?.” Sumpah, ya, itu pertama kalinya gue nanya kayak gitu karena cowok.

“Cantik kok, Cantik,” kata Ari, Taylor juga mengatakan hal yang sama. Ia mendekat ke gue lalu menaruh tanggannya di pundak gue, “Gue gak nyangka ya, gara-gara Kak Austin lo pengen pakai yang kayak gini. Padahal dia gak peka-peka, loh.”

Padahal dia gak peka-peka, loh.

+

Sampai lah kita berada di dalam gedung yang besarnya setengah dari kampus, besar banget. Ari narik tangan gue tapi dengan cepat gue melepaskannya pelan, “Duluan aja, gue pengen nyari kak Austin dulu.”

Dia mengangguk, “Kursi kita yang di tiga baris paling depan panggung. Supaya lo gak bingung nanti cari kami.”

Kali ini, giliran gue yang ngangguk. Gue jalan mendekati panggung dengan high heels yang tinggi nya gak seberapa, tapi cukup bisa buat gue mau jatuh. Gue cewek, tapi baru pertama kali pakai beginian, ini pun high heels nya minjam.

Beberapa orang tua berada di belakang backstage panggung, menyemangati anaknya, ada juga yang nangis. Banyak juga senior-senior gue yang lagi ngelemparin topi toga terus berebutan dengan temannya, ada yang Cuma duduk, ada yang selfie—khususnya anak cewek.

Yang kagetnya itu, seorang perempuan kini sedang berlari kecil ke arah gue sambil menaikkan baju toganya, mencegah agar tidak terinjak. Sampai gak ada jarak lagi, dia memelukku, “Jen! Gue kangen berat sama lo! lo gimana? Baik-baik aja?.”

“Baik, kok. Lo, Kak Selena?.”

Yup, ini Kak Selena.

Kami mulai deket saat gue ditinggal sendiri dikantin sama Kak Austin, alasannya sih pengen ke toilet, tapi gak balik-balik sampai makanan gue udah habis. Dan saat itu, Kak Selena ngeliat dan menghampiri gue. Mulai ngomong yang gak penting, sampai Kak Selena curhat tentang stress ngebuat skripsi.

“Baik juga. Ngapain disini? Pasti pengen cari Austin kan?.” Tepat sasaran, gue mengangguk.

Oh, ya. Kak Selena juga udah move on dari Kak Austin, dan itu buat gue lega. Seenggaknya, saingan gue udah berkurang satu.

“Dia habis di panggil dosen gitu deh, katanya ada yang pengen dibicarakan. Tunggu aja dulu disini. Tapi, maaf, gue gak bisa nemenin, ada yang pengen diurus.”

Three GirlsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang