Part 26

1.9K 214 9
                                    

eh ini gue kasih dedikasi acak yaa.-.

****

Still Ariana P.O.V

Dia?

Kenapa dia bisa kesini?

Kenapa gak ke tempat lain? *eh

Pas 'dia' natapin kita -yang ada di aula--, semua mahasiswa-mahasiswi langsung bisik-bisik tetangga gitu.

"eh, itu perampok gak sih?"

"gak tau deh. Soalnya pakaiannya hitam tapi agak terang dikit"

"terus pake topeng yang mata sama hidung nya aja yang nongol. Masa iya itu perampok? Atau ini mahasiswa yang salah pake costum?"

"lo bener juga. Perampok kan bawanya pisau, lain pistol"

Gitu deh yang gue dengar dari 2 cewek rempong disebelah gue.

"lah kalian kok gak lari?" tanya laki-laki yang tadi teriak-teriak

"ngapain lari? Lo kira kita lagi ikut lomba marathon?" kata seseorang yang gak jauh dari tempat dimana gue berdiri. "emang lo siapa sih? Gaya bener pake topeng," lanjut nya

Si pria berbaju hitam itu berjalan ke arah gue dan Justin dengan menodongkan pistol nya. Tiba-tiba memborgol tangan kanan gue dan tangan kiri justin. "SIAPAPUN YANG BERANI BERGERAK SEDIKIT ATAU BERKEDIP, GUE TEMBAK!"

Gue disini masih bingung gue diborgol kenapa. Padahal tiap hari gue masuk kampus biarpun telat, ngerjakan PR walaupun gue nyontek, dapat nilai bagus tiap test ya walaupun gue suka nanya-nanya sama temen di samping. "om, kok aku di borgol sih?" tanya gue.

"enak aja lo manggil gue om! Panggil gue bunda aja kali hih"

What the... dia gak normal, guys.

Dia tetap mengarahkan pistolnya ke setiap mahasiswa yang udah kayak zombie di walking dead wujudnya. Dan entah Kak Austin tuh budek atau lagi melamun, dia malah jalan ke arah si perampok.

Suara peluru yang ditembak pun terdengar nyaring dari aula. Para perempuan berteriak histeris karena salah satu the most wanted di tembak di bagian kaki kirinya. Sontak Kak Austin langsung jatuh terbaring dan meringis kesakitan. "dasar lu banci!" kata Kak Austin sebal

"gue emang banci yaudah!" kata perampok ini sambil membawa gue sama Justin ke luar aula.

Gue dibawa kemana ini yatuhan?!

Taylor P.O.V

Gue diam. Gak tau harus bilang apa. Setelah perampok pergi dengan membawa Ari dan Justin, Harry langsung berlari ke arah Kak Austin yang lagi kesakitan akibat insiden tadi. Jen juga, sedangkan gue masih diam mematung. Bukannya gue ogah bantuin, masalahnya gue phobia banget sama darah, sekalipun lihat zat cair berwarna merah itu gue langsung pingsan. Para siswa-siswi juga lagi saling berbisik-bisik ria, yang nangis pun juga ada. padahal yang ditembak siapa yang nangis siapa?

"TAYLOR! LO KENAPA MASIH CENGO DISANA?" teriak Harry. "KESINI BANTUIN GUE KELUARIN PELURU NYA!" lanjut nya.

Eh gila aja dia pengen ngeluarin peluru dari kaki kak Austin? Sok tau banget deh

Gue menggeleng lemah dan memberi tatapan gue-phobia-darah ­ke arah Harry. Karena dia gak peka minta ampun, si Jen yang jelasin kenapa gue gak mau kesana. Setelah mendengar ceramah-singkat dari Jen, harry menemui gue. "jadi lo phobia darah?"

Gue ngangguk

"kalau begitu, ini waktu yang tepat untuk ngilangin rasa phobia lo, tay. Yuk ikut gue," ia menarik tangan ku pelan ke arah Kak Austin.

"G-Gue g-gak mau, har. Gue takut," kata Taylor mencoba melepaskan tangannya dari tangan kekar Harry. "gue gak mau lagi liat darah. Cukup 5 tahun yang terakhir aja"

5 tahun yang lalu. Masa-masa yang memang paling berat buat gue. Mama kandung gue mennggal akibat kecelakaan mobil, saat itu juga gue ada disana. Pas waktu itu, kita berdua lagi menuju rumah karena gue baru aja pulang dari sekolah. Dan tiba-tiba mobil dari arah berlawanan melaju kencang ke arah kami. Pihak polisi bilang kalo mobil sedan warna hitam itu rem nya anjlok.

Beberapa menit setelah kecelakaan, gue bangun dan liat mama bersimburan darah di bagian dahi dan tulang tangan beliau dapat ku lihat. Mulai dari situ lah gue paling benci namanya darah.

"kalo lo sama gue, lo gak boleh takut, taylor. Gue ada disamping lo," entah kenapa kata-kata harry bisa nenangin hati yang lagi gak karuan. Gue mengangguk ragu.

Kami berdua berjalan menuju Jen dan Austin yang lagi menutup matanya dengan kedua tangannya. Gue bisa merasakan kalau jadi dia.

"Jen, lo udah ngambil benda yang gue suruh?" tanya Harry ke Jen, ia mengangguk dan memberikan penjepit yang biasanya di pakai dokter bedah sama lap berwarna putih. "Taylor, lo duduk disini dan gue minta lo jangan ganggu konsentrasi gue. Ini taruhannya nyawa," jelas harry

"lo yakin bisa, har?" tanya Jen.

"gue sering ngeliat om gue lagi ngambil peluru dari badan seseorang da pernah sekali gue diajarin," kata Harry sambil memegang kaki yang tertembak peluru tersebut. "tin, lo harus kuat ya. Ini agak dalam dan bakalan sakit," kata Harry.

Kak Austin mengangguk ragu, mukanya sudah panas dingin. "keluarin pelurunya, har! Gue udah gak tahan,"

Harry mengambil lap nya dan membersihkan darah yang masih berceceran di sekitar daerah yang tertembak tadi. Setelah agak bersih, ia memegang penjepit lalu mengarahkan ke kaki Kak Austin. Penjepit itu berhasil masuk ke dalam daerah tembak, harry mencari bekas peluru nya. Karena gak tahan, gue menutup mata dan yang dapat gue dengar cuma Kak Austin yang meringis kesakitan.

"yap, peluru udah keluar," kata Harry yang membuat ku membuka mata. "Jen, cariin gue jarum sama benang," kata harry. Dengan sigap Jen berdiri lalu keluar Aula sedangkan Harry menuju wastafel untuk membersihkan tangannya dari darah yang menempel.

"lo gak papa, taylor? Muka lo pucat," kata Kak Austin.

"gakpapa kok kak. Gue emang gini kalau lihat darah," kata gue sambil mengupas muka yang katanya Kak Austin pucat.

Ternyata, harry udah berada di samping gue sambil mencoba memasukkan benang ke dalam jarum. Setelah masuk, ia mengarahkan jarum tersebut ke luka dan menjahit kulit Kak Austin dengan teliti. Tak jarang Kak Austin meringis kesakitan. "Selesai, tin" kata Harry sambil memberikan jarum tersebut ke Jen. "yang merasa laki-laki, tolong bantu gue bawa Austin ke UKS! Sekarang!"

Para mahasiswa yang sedari tadi melihat operasi kecil tersebut langsung mengangkat Kak Austin keluar Aula. Gue berdiri dan berjalan menuju Jen yang sedang menatap Kak Austin sendu. Sadar akan keberadaan gue disampingnya, Jen langsung memeluk gue.

Terdengar isakan kecil dari Jen,

"Ari gimana, taylor? Gue takut dia ditembak kayak Kak Austin juga,"

"gak bakalan, Jen. Dia tuh punya 1001 macam cara supaya bisa kabur dari si penculik itu. Kita Cuma bisa berdoa buat dia. Lagian kan dia sama Justin, pasti aman kok," kata gue mencoba menenangkan Jen, meskipun hati gue gak sama sekali tenang.

Salah apaan sih Ari sampai di culik gitu?

Ditempat lain...

*****

QOTD ; kira-kira siapa yang culik pasangan konyol itu?

yang bener dedicate yap!

Three GirlsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang