Happy Reading xx
+
Author POV
Terus memandang layar handphone untuk sekedar memainkan permainan anak SD, perempuan berusia 19 tahun itu mulai terpikir apa yang akan terjadi pada dirinya sebentar lagi. Yang akan merubah hidupnya untuk selamanya—atau mungkin sampai ia mengenakan topi toga dan baju panjang nan besar itu nanti.
Sang Ibu yang berada di luar, sedari tadi hanya mengerutu kesal dan terus menggedor-gedor jendela kaca mobil, seraya memanggil nama anaknya terus menerus, “Yaelah, Nak. Ayo, cepetan, itu dad sama yang lain udah nungguin.”
Tetap dengan muka yang ditekuk, Si Anak—yang sedaritadi masih duduk cantik di dalam mobil, membuka setengah kaca mobil sambil memasukkan handphone nya kedalam kantong celana, “Sama yang lain? Maksudnya?.”
Si Ibu menghela nafas, menaruh tangannya di depan dada. Umurnya yang sudah tidak bisa dibilang muda itu lagi, kadang-kadang masih bersikap layaknya anak muda 17 tahun. Masih sering memakai kata ‘gue-lo’ ke ayah anak ini, “Dad tadi sama Mom ketemu teman lama, dan cerita-cerita deh.”
Sebut saja anak ini Ellen yang sedang asik memutarkan bola mata birunya, “Ya kalau gitu, kenapa gak dilanjut aja nge-gosip nya? Aku nunggu disini aja sampai pengumuman disampaikan.”
“Lah apa gak pengap didalam sana? Nanti kamu meninggal gimana, dong?.” Ya, kadang perkataan ibunya ini suka banget ngelantur. Pengen banget anaknya itu dapat musibah, “Lagian ka kamu bisa dapat teman baru. Teman-teman Mom juga punya anak yang masuk sini. Siapa tau kamu bisa akrab sama mereka, kan gak usah susah-susah cari teman lagi.”
Seketika otak Ellen seperti terputar, teringat dua tante-tante ganjen yang nginap 7 malam 6 hari dirumahnya, yang selalu cubitin pipi perempuan ini sewaktu baru masuk TK. Dan karena itu mungkin 1 dari 47937 alasan kenapa pipinya kayak bakpau gini.
Tante Jen.
Tante Ari.
Pundak Ellen langsung lemas, bersandar di sandaran mobil seraya memukul jidatnya pelan. Menghela nafas lalu menatap ibunya pura-pura sedih, “Mereka ada disini, Mom? Astaga kenapa ini terjadi lagi,” Ucapnya frustasi, “Dan sekarang aku sekampus sama anak-anak mereka? It is a funny joke?.”
Ibunya—Taylor langsung terkekeh dan membukakan pintu mobil, tempat Ellen duduk. Menyuruh anaknya untuk keluar dari mobil sedan hitam ini sekarang. Mau tak mau, ia sebagai anak hanya mengikuti saja.
Taylor menggandeng anaknya sambil berjalan menjauh dari mobil yang sudah ia kunci itu, “Tau gak, dulu, mom masuk sini juga paksaan orangtua dan ketemu sama anak-anak temennya nenek. Ya itu mereka berdua, Jen sama Ariana. Kita bertiga emang kalem banget pas baru kenal. Dan saat tau kami sekamar, gak ada lagi tuh kalem-kalem-an. Kita kayak orang gila semua.”
Asik menyimak, Ellen juga kadang-kadang melihat ke bawah, jaga-jaga jika ada lubang atau batu yang bisa membuat nya tersandung, “Dan nanti kita bertiga bakalan kayak orang gila juga?.”
Taylor menghentikan langkahnya, menatap anaknya dengan tatapan datar, “Bukan gitu juga kali. Ah elah kok lo warisin gen nya Ariana yang suka telmi sih.” Nah, mulai deh sifat Taylor yang suka pakai bahasa gaul dan lupa siapa lawan bicaranya.
Ia melanjutkan perjalanan tetap menggandeng Ellen, “Maksud mom itu, bukan nanti kalian gila juga. Tapi, kalian bakalan dekat dan jadi sahabat. Selalu nempel kayak lem sama prangko. Ya, misalkan gak jadi sahabat, mungkin belum waktunya.”
Kok kayak maksa gitu, ya?, pikir Ellen dalam hati.
“Dan mungkin kamu bisa dapat jodoh kamu disini, kayak—“ Belum sempat Taylor menyelesaikan perkataannya, dengan cepat Ellen menyambung,
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Girls
FanfictionIni tentang mereka bertiga yang ditempatkan di asrama dengan kamar yang sama. Remaja-Remaja perempuan yang masih labil, gokil dan jauh dari kata 'normal people' ini, pasti ada aja kegilaan yang akan dilakukan mereka setiap hari ataupun setiap jam. T...