Breath - 23

1K 24 1
                                    

Fabian, Selena dan Bagas telah selesai berbelanja bahan makanan. Mereka memasuki mobil untuk menuju Bikayla Resto mengantar seluruh perbelanjaan hari ini yang sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil.

"Setelah ini boss kembali ke rumah ya?" Bagas angkat bicara karena dirasanya suasana di dalam mobil begitu hening. Mungkin karena semua orang lelah setelah mengelilingi seluruh pasar.

"Ya. Mungkin kamu dan Selena bisa mempersiapkan bahan makanan dan membersihkannya terlebih dahulu."

"Eh, tunggu!"

Selena menginterupsi Fabian. Dua orang pria yang sama-sama duduk di depannya itu menoleh ke arahnya.

"Aku mau ganti baju dulu, boleh? Gerah banget ini mah." Wanita itu mengibas-ngibas kerah atasan polonya.

"Boleh. Kalau begitu sekalian kita ke apartemen kamu, terus jemput Kayla." Usul Fabian.

"Setuju."

Tak memerlukan waktu yang lama untuk sampai di kawasan apartemen Selena. Fabian yang menyetir mobil pun memarkirkan mobilnya dengan rapi. Sebelum menjemput Kayla, pria itu memutuskan untuk menelepon gadis itu terlebih dahulu.

"Aku ganti baju dulu." Pamit Selena kepada dua orang pria di depannya. Ia langsung turun dari mobil agar mereka berdua tidak menunggunya terlalu lama.

"Eh, aku mampir sebentar ke apartemen Selena ya. Tiba-tiba merasa haus." Bagas melepas sabuk pengamannya sambil berpamitan dengan Fabian.

"Nggak minum di rumah aku aja?"

Bagas menggeleng. "Sudah mulai haus."

"Kalau begitu aku nelpon Kayla dulu ya."

"Yes, bro."

"Btw, nanti kasih tahu aja distributor yang kamu maksud tadi. Biar restoran kita lebih menghemat waktu dalam mengelola bahan makanan."

"Haha." Bagas tertawa kecil. "Sebenarnya untuk masalah distributor tadi, hanya bercanda. Karena kamu tahu sendiri kan, orang tuaku mengelola bisnis dagang makanan dan penjualan rumah toko. Jadi aku sendiri belum punya kenalan bahan makanan."

"Astaga!" Fabian menepuk dahinya.

"Tapi tenang. Masalah itu bisa selesai kok dalam satu minggu ini. Nanti aku coba minta tolong sama anak buah untuk mencari distributor bahan makanan yang tepat untuk restoran kita."

Fabian menghembuskan napasnya dengan kasar. "Maaf sebelumnya, malah merepotkan. Aku sendiri yang nggak bilang sama kamu sistem operasional Bikayla Resto. Di Bali pun aku dan karyawanku memilih sendiri bahan makanan setiap harinya, karena kalau memasok lebih banyak, malah membuat makanan olahan menjadi tidak fresh."

"Tidak papa. Itu bukan kesalahan kamu. Aku mengerti mengapa sistem operasional kamu seperti itu, karena sistem seperti itu memang layak dipakai bagi Bikayla Resto untuk menghasilkan makanan yang benar-benar fresh. Makanya, Bikayla Resto sangat layak menjadi restoran nomor satu di Bali, ya dan aku juga berharap semoga Bikayla Resto akan memasuki sepuluh besar restoran terbaik di Jakarta. Setidaknya sepuluh besar, tidak berharap banyak juga. Karena di Jakarta sendiri adalah tempatnya persaingan bisnis."

"Benar. Sebenarnya kalau kamu tidak dapat menemukan distributor juga tidak papa. Perlahan, kamu akan mengerti kenapa kita harus turun tangan untuk memilih bahan makanan secara langsung. Terkadang, ya, itu memang merepotkan tapi aku berpikir hal itu juga bermanfaat untuk menyenangkan diri sendiri. Selain bisa berbincang dengan pedagang, juga kita mengerti bagaimana sulitnya kehidupan di sekitar kita."

"Ya, aku paham." Bagas mengangguk. "Makanya aku memutuskan untuk berinvestasi di bidang kuliner untuk menantang diri sendiri. Keluar dari zona nyaman dan melakukan hal baru yang sebelumnya belum pernah aku coba. Turun tangan sendiri mengontrol karyawan dan juga, kelebihannya aku bisa memberi perhatian lebih kepada mereka. Hal itu membuat aku memiliki kegiatan baru selain mengelola usaha mama dan papa. Ya, walau sebenarnya usaha mama dan papa sendiri sudah ada manajemen operasionalnya." Bagas tersenyum tipis. Ia bersyukur bertemu dengan Fabian. Semua hal sungguh ia syukuri dari awal hingga akhir karena ia memulai bisnis kuliner sejak memerhatikan wanita itu, cinta pada pandangan pertamanya.

TemptedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang