#22 Hadiah? Kepala siapa?

254 49 10
                                    

Di balik pintu kamar Alesya, berdirilah Liv yang sedang menunduk. Kedua tangannya mengepal. Dadanya panas, terbakar api cemburu.

Liv mendengar semua percakapan sepasang kekasih itu dari awal. Percakapan yang menyayat hatinya. Apa lagi, saat mendengar kata 'menikah' dari bibir Aksa. Dia jadi ingin merobek mulut pria itu.

Liv menyeringai. "Apa sampai mati, gadis itu tidak bisa memilihku? Apa selama ini aku tidak cukup menunjukkan keseriusanku?"

Ya. Liv sudah menunjukkan keseriusannya. Dia mengutarakan isi hatinya pada Alesya, namun cara Liv mengungkapkan perasaannya terbilang asal-asalan hingga sampai saat ini, Alesya menganggap itu sebagai omong kosong.

Misalnya 5 hari lalu. Mereka sedang keliling istana vampir, mencoba menguatkan ingatan Alesya tentang kehidupan masa lalunya.

"Ale, jika kau memilihku, kau tidak perlu repot-repot mengingat kehidupan masa lalumu yang buruk"

"Apa, sih, maksudmu?"

"Ayo, jadi milikku saja!"

Juga 3 hari lalu. Tepat saat Liv berlatih pedang.

Waktu itu, dia bertelanjang dada. Keringat membasahi rambut pirangnya. Juga tubuhnya. Membuat kulitnya tampak berkilauan kala terkena cahaya matahari.

"Ale, jika kau jadi milikku, kau bisa melihat pemandangan indah ini setiap hari"

Pemandangan yang dimaksud oleh Liv adalah tubuhnya. Tubuh kekarnya. Sesuatu yang amat ia banggakan, namun membuat Alesya bergidik.

Begitu berulang kali hingga Alesya menjadi muak.

Liv mendengus. "Bedebah! Kenapa juga aku datang kesini!"

Tak lama setelah itu, Liv mendecih. Kemudian, dengan langkah berat, dia berjalan menjauh dari kamar Alesya. Tangannya masih mengepal, menyimpan amarah besar. Juga terdengar suara gemeletuk gigi dari rahangnya yang kini sudah mengeras.

Beberapa saat lalu, sebelum Liv mendatangi kamar Alesya, pria itu memasang wajah girang. Wajah bahagia. Dia bersiap pagi-pagi sekali agar bisa menghabiskan banyak waktu bersama gadis pujaannya.

Pria dengan rambut pirang itu datang ke kamar Alesya dengan niatan baik. Dia ingin memberi tahu Alesya tentang hal yang perlu dan tidak perlu ia lakukan besok, di hari penobatannya sebagai ratu. Tidak ingin sang pujaan hati melakukan kesalahan sehingga harus menahan malu di antara ratusan makhluk immortal.

Yah, meski sebenarnya jika hal itu terjadi, Liv akan langsung memberi tatapan membunuh pada semua makhluk immortal yang menatap Alesya.

Liv jelas tidak ingin Alesya merasa tidak nyaman. Bahkan pria itu sempat berpikir akan menculik Alesya dari sini. Mengajaknya kembali ke dunia manusia agar bisa menjalani kehidupan normalnya.

Laki-laki itu sungguh ingin menjauhkan Alesya dari dunia ini. Dia ingin menjauhkan Alesya dari berbagai kemungkinan yang bisa membahayakannya. Tak ingin gadis pujaannya sampai terluka.

Semua tindakan Liv memang menyebalkan. Dia memiliki harga diri tinggi, hingga tidak bisa mengutarakan isi hatinya dengan baik, namun di balik itu, dia memiliki perasaan yang tulus pada Alesya.

Liv baru menghentikan langkahnya saat sampai di tempat latihan para ksatria. Pagi-pagi begini, belum ada ksatria yang datang untuk berlatih. Mereka--mungkin--masih tidur.

Tempat latihan sangat sepi. Sunyi. Tepat dijadikan sebagai tempat meluapkan emosi.

Suing

Liv mengayunkan pedangnya secara brutal ke berbagai arah. Hal itu ia lakukan dalam waktu lama sampai peluh mulai membanjiri tubuhnya. Kulit wajahnya juga mulai memerah. Entah karena banyak bergerak atau masih terdampak panasnya cemburu.

I'm a MIXED BLOOD : The Return Of The QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang