"Minumlah," ucap Jimin sembari menyodorkan segelas air minum kepada Nina.Nina menerima air minum itu dengan ragu. Ia masih tampak syok dengan kejadian beberapa jam yang lalu. Bahkan sekarang ia sedikit was-was dengan Jimin. Dia takut jika Jimin akan melukainya lagi.
"Maafkan aku, Sayang." Jimin menangkup pipi tirus Nina dengan lembut.
Nina tidak menanggapi ucapan Jimin. Ia hanya diam menatap manik mata Jimin. Berusaha mencari jawaban di balik tatapan malaikatnya itu. Tapi nihil. Nina sama sekali tidak menemukan jawaban di sana. Dia hanya melihat ketulusan di mata Jimin.
"Apa dia sering menemuimu?" tanya Jimin kemudian.
"Menemuiku? Siapa?" tanya Nina bingung.
"Hm, aku tidak tau pasti siapa, tapi dia adalah aku yang lain," jawab Jimin.
Nina mengernyitkan dahinya bingung.
"Siapapun yang menyakitimu tadi, itu bukan aku," lanjutnya.
Nina semakin bingung dengan ucapan Jimin. Ia tertawa hambar. Bagaimana bisa Jimin mengatakan itu bukan dirinya? Padahal dengan jelas Jimin hampir saja membunuh Nina.
"Aku tidak tau maksudmu. Jangan membuatku seperti orang bodoh," tukas Nina.
Jimin menyusul Nina duduk di sisi kasur memandangi istrinya itu yang sudah tampak sedikit membaik. "Sweetie, ayo kita berbulan madu," ucapnya sembari menyelipkan anak rambut Nina yang terurai ke belakang telinga lalu tersenyum.
Nina melirik sekilas. Ia merasa sedikit luluh dengan ucapan Jimin. Entahlah, hatinya terlalu sayang sampai dengan mudah melupakan kejadian beberapa jam lalu.
"Tap—"
"Tapi apa, Sayang? Apa kau tidak menginginkannya?" tanya Jimin sembari menarik tekuk leher Nina perlahan ke arahnya kemudian melumat pelan bibir tipis Nina. Sontak Nina membulatkan matanya sempurna. Bibirnya hanya diam tanpa melawan ataupun membalas.
"Kau takut padaku?" tanya Jimin lembut, setelah melepas ciuman mereka.
Nina tak menjawab, dia hanya menatap manik mata Jimin. Tidak ada tatapan mata Jimin seperti tadi sore. Yang ada hanya tatapan tulus dan hangat. Membuat Nina kembali tenang dan nyaman.
"Mau, ya?" tanya Jimin masih dengan tatapan hangatnya.
Nina hanya mengangguk mengiyakan membuat Jimin langsung tersenyum senang dan memeluk Nina erat. Seolah tak ingin melepaskannya.
"Jeju?" tanyanya masih dengan posisi memeluk Nina. Nina tersenyum kemudian mengangguk singkat.
"Aku akan meminta cuti satu minggu," ucapnya lagi.
"Baiklah," jawab Nina masih nyaman di pelukan Jimin, bersandar di dada bidang suaminya itu.
"Mau makan malam?" tanya Jimin kemudian.
"Tapi aku tidak masak tadi sore, Jim," jawab Nina sembari mendongak ke arah Jimin.
Jimin tersenyum manis sebelum akhirnya melepas pelukan mereka dan beranjak dari duduknya.
"Biarkan aku yang memasak. Kau tunggu di sini, ya," ucap Jimin kemudian berlari kecil keluar dari kamar.
Nina hanya tersenyum melihat Jimin yang bersemangat untuk memasak. Ini adalah pertama kalinya setelah mereka menikah.
Sembari menunggu. Nina mengambil ponselnya yang berada di saku jas kerjanya tadi. Menaik turunkan layar ponselnya melihat postingan yang ada di sosial media.
Beberapa menit kemudian suara piring pecah dari arah dapur membuat Nina tersentak dan segera keluar mencari tau asal suara itu.
Benar saja. Satu piring sudah pecah berserakan di lantai dapur. Nina yakin ini perbuatan Jimin, karena dia yang berada di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐖𝐎 𝐒𝐈𝐃𝐄𝐒 [M]• Park Jimin Fanfiction [TERBIT] ✔️
Fanfiction[SUDAH TERBIT] UNTUK PEMBELIAN SILAKAN DM ATAU CHAT CHIMMYOLALA. -- HE IS DEVIL BUT LIKE AN ANGEL -- _____ Masa lalu kelam membuat Park Jimin, seorang Dokter Spesialis Bedah terhebat di Seoul harus mengalami penyakit psikologis. Ia memiliki DUA SIS...