"Arghhhh!" erang Jimin dengan suara isakkan. Ia memukul keras dinding yang ada di hadapannya. Kepalanya ia tundukkan dengan dahi yang ia sandarkan di dinding. Dia terdiam dengan isakan yang lirih dan dalam.
Air matanya entah mengapa keluar begitu saja. Dadanya begitu sesak dengan perasaan bersalah yang menjalar pada dirinya.
"Wae? Wae?!" teriak Jimin dengan mata yang sudah memerah. Ia menutup telinganya yang seolah berhalusinasi mendengar suara lirih Nina yang membuat perasaannya begitu kacau. Ada rasa bersalah di dirinya.
Seokjin yang masih berusaha mengatur napasnya di bawah sana hanya menatap melas ke arah Jimin. Dia sama sekali tidak merasa marah karena Jimin baru saja menyerangnya. Dia malah merasa iba dan kasihan. Memiliki kepribadian ganda yang tidak bisa ia kendalikan tentu saja membuatnya merasa gila dan frustasi.
Jimin membentur-benturkan kepalanya pelan ke dinding dengan tatapan kosong. Ia tampak begitu kacau dengan isakan lirih yang keluar begitu saja dari bibirnya.
Tanpa ia sadari, bahu yang sempat terluka karena tusukkan pisau yang diberikan Yoongi kembali mengeluarkan darah. Darah itu menembus kaos hitam yang ia pakai. Padahal dia sudah membalutnya dengan perban di dalam kausnya, tapi sepertinya itu tidak menghalangi darah yang memaksa keluar dari kulitnya.
Ya, Seokjin tidak tahu kalau Jimin terluka di bagian bahunya. Karena saat di rumah sakit, Seokjin melihat Jimin baik-baik saja meskipun tampak bersimbah darah. Sejak hari itulah, Jimin hanya diam-diam mengobatinya sendiri tanpa bantuan Seokjin atau orang lain.
"Aku monster..., aku monster gila!" teriaknya lagi tanpa mempedulikan bahunya yang sedikit ngilu. Karena kausnya berwarna hitam, Seokjin pun tidak menyadari jika darah mulai merembes di kaus itu.
"Kau bukan monster, Jim ...." Lagi-lagi suara lirih itu terdengar di telinga Jimin. Membuatnya berhenti membenturkan kepalanya dan merasakan sesak di dada. Ia mengatupkan kedua tangannya yang terborgol dengan erat, menampakkan warna kemerahan di sela jemarinya. Ia mencengkram tangannya sendiri, seolah menahan emosinya yang akan meluap.
Air matanya tak mau kalah. Terus-terusan mengaliri pipi Jimin. "Perasaan apa, ini? Aku tidak sanggup merasakan ini. Aku tidak bisa, Hyung!" makinya kemudian kembali terisak.
"Bunuh aku! Bunuh aku! Aku sudah menyakiti Nina-dan sekarang aku menyakitimu. Bunuh saja aku!" Ia begitu meluapkan emosinya. Begitu kalap dengan dirinya sendiri. Tidak tau harus melakukan apa.
"Tidak ada yang boleh membunuhmu."
Suara itu kembali terdengar di telinga Jimin. Namun, tampak terasa begitu dekat. "Apa sekarang aku benar-benar gila? Aku selalu mendengar suara Nina di sekitarku ..., apa aku-"
Beberapa detik berikutnya, Jimin merasakan sesuatu melingkar di pinggangnya. "Kau bukan monster. Kumohon jangan katakan itu lagi." Jimin menunduk menatap lengan yang baru saja melingkar di tubuhnya. Ia terdiam. Isakkan tangisnya pun ikut mereda diiringi rasa hangat yang menjalar di tubuhnya.
Jimin menutup matanya sejenak, lalu kembali membukanya. Ia menoleh ke belakang tubuhnya dan mendapati sosok wanita yang begitu membuatnya nyaman, tengah memeluknya dengan lembut.
Jimin kembali menunduk. Hatinya begitu tersayat melihat kondisi Nina yang masih mengenakan pakaian pasien dengan infus yang melekat di lengan kirinya.
"Berhenti mengatakan kalau kau monster, Jim. Kumohon ...." Nina mengeratkan pelukannya. Suaranya sedikit gemetar dan lirih, berusaha menahan tangisnya.
Jimin melepaskan lengan Nina perlahan dari tubuhnya dan berbalik. Ia menatap Nina yang tengah menunduk di hadapannya dengan tatapan pilu. Tangannya meraih dagu Nina dan menghadapkan wajah Nina ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐖𝐎 𝐒𝐈𝐃𝐄𝐒 [M]• Park Jimin Fanfiction [TERBIT] ✔️
Fanfiction[SUDAH TERBIT] UNTUK PEMBELIAN SILAKAN DM ATAU CHAT CHIMMYOLALA. -- HE IS DEVIL BUT LIKE AN ANGEL -- _____ Masa lalu kelam membuat Park Jimin, seorang Dokter Spesialis Bedah terhebat di Seoul harus mengalami penyakit psikologis. Ia memiliki DUA SIS...