Hadirnya tak pernah kuduga, alurnya pun tak pernah kuterka. Tapi,
mengapa semua terlihat indah walau aku tak terima.
___Sebuah warung makan yang jauh berbeda dengan yang ada di desa ada di hadapan Swara. Ia membaca tulisan yang terpampang di depannya. Tanpa pikir panjang ia segera masuk ke dalam dan bertanya pada salah satu wanita yang memakai seragam yang sama dengan beberapa pelayan di sana. "Ekhm, saya lihat ada lowongan pekerjaan di sini ... Saya ingin melamar kerja."
Tanpa mengucap salam ataupun sapaan Swara langsung mengatakan niatnya.
Wanita itu mengalihkan atensinya, ditatapnya pria tinggi dengan kulit putih bersih yang nyaris seperti model.
Wanita itu meneguk ludah susah payah saat menelisik Swara dari ujung kaki hingga rambut. "Oh i-iya sebentar, saya bilang ke manager saya dulu." Ia segera pergi meninggalkan Swara sendirian di sana.
Swara sadar, saat ini ia sedang menjadi pusat perhatian. Para pelayan wanita yang mengintipnya diam diam, pun para pengunjung yang menatapnya terang terangan. Ia menghela napas, dalam hati terus saja membisikkan untuk mengacuhkan orang sekitar, ini demi mendapat uang untuk dia dan istrinya yang sudah ia nikahi selama sebulan. Jadi, mau tak mau harus dilakukan walau sangat tak nyaman.
"Silahkan masuk Mas, sudah ditunggu di dalam." Ia mengangguk, kemudian berjalan menuju ruangan yang tadi sempat ditunjukkan.
Para pelayan wanita yang tadi mengintip kini menunjukkan dirinya, mereka mendekat. "Tadi siapa?"
"Orang ngelamar kerja."
"Wah, Lumayan nih di jadiin gebetan, ganteng banget gitu." Terangnya yang mendapat anggukan oleh teman temannya yang lain.
***
Matahari sudah sepenuhnya menghilang dari langit, membuat wanita cantik yang berada di dalam rumah seorang diri mulai merasa cemas. Tidak biasanya suaminya itu pulang sampai malam begini, meskipun ia tau bahwa suaminya itu memang sedang mencari pekerjaan untuk menghidupi kehidupan mereka di kota yang baru seminggu mereka tempati.Kalinda segera berdiri saat ketukan pintu terdengar beberapa kali. Ia berjalan cepat kemudian membukakan pintu dan mendapati orang yang tengah dia tunggu tunggu. "Tumben pulang malam Mas?"
Swara tak langsung menjawab, ia melewati istrinya begitu saja. Namun Kalinda bisa mengerti bahwa suaminya itu sedang kelelahan karena seharian mencari pekerjaan. "Mau makan atau mandi dulu?"
"Mandi."
"Yaudah aku siapin bentar." Ia segera berbalik hendak menyiapkan air hangat untuk Swara, namun suara bariton itu menghentikan langkah kakinya, "aku bisa sendiri."
Kalinda berbalik, tersunyum tipis lalu membiarkan Swara mengurus dirinya sendiri. Hingga saat Swara benar benar sudah pergi dari sana, setetes air mata keluar dan menyentuh pipi mulusnya. Segera Kalinda menyeka, ia menarik napas dalam dalam, menguatkan dirinya sendiri dan meyakinkan bahwa Swara memang belum terbiasa dengan kehadirannya.
Semua ini bukan salah Swara, apalagi Kalinda. Tidak ada yang harus disalahkan di sini, sebab Tuhan memang sudah menggariskannya sedemikian rupa. Kakek Kalinda menyuruh Swara untuk menikahinya setelah ia tiada, dan tentu saja Swara tak bisa menolak karena kakek Nar yang menyelamatkan Swara dari kematian yang hampir menjemputnya. Namun sayang, memori masa lalu tak bisa Swara ingat sama sekali, hingga memaksanya menjalani kehidupan dengan identitas baru tanpa seorang pun yang tau.
***
Suara detingan sendok menjadi pengusir keheningan di meja makan. Swara dan Kalinda memakan makanan mereka tanpa suara, sebab keduanya tak suka jika makan sambil bicara. "Aku sudah mendapatkan pekerjaan."
Swara menaruh segelas air yang sudah ia minum hingga tinggal setengah, "menjadi pelayan restoran," imbuhnya.
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu, uang tabungan juga hampir habis untuk makan sehari hari ... Kapan Mas mulai bekerja?"
Entah mengapa mendengar ucapan Kalinda membuatnya tak nyaman, ia merasa seperti sedang tersindir sebagai seorang suami yang tak becus menafkahi istri, tapi Kalinda sama sekali tak bermaksud demikian. "Besok pagi."
Ia mengangguk nganggukkan kepala mendengar ucapan suaminya, lalu kembali bertanya, "mau aku buati bekal buat besok?"
"Tidak usah, aku makan di sana." Lagi lagi Kalinda hanya bisa menganggukkan kepala, "yasudah kalau begitu."
Setelah selesai makan malam Swara langsung menuju ke kamar, lalu tiga puluh menit kemudian Kalinda menyusulnya setelah selesai dengan semua kegiatan yang ia kerjakan.
Mereka memang tidur dengan ranjang yang sama, namun hanya sebatas tidur biasa. Kalinda membuka pintu lalu berjalan mendekat ke arah suaminya yang tengah sibuk dengan ponsel. Tanpa ingin mengganggu Kalinda naik ke atas kasur, ia segera tidur dengan memunggungi suaminya, dan Swara sama sekali tak masalah dengan itu semua.
Beberapa menit kemudian ponselnya ia matikan, pun lampu kamar yang masih menyala. Setelah itu menyusul istrinya untuk tidur dengan saling memunggungi satu sama lain. Kalinda masih belum tidur, ia merasakan setiap gerakan yang Swara lakukan.
Rasanya seperti hambar, tinggal dan tidur di tempat yang sama namun belum bisa saling menerima, apakah bisa disebut dengan pernikahan yang ideal.
Kalinda pasrah, ia akan bertahan selama yang ia bisa. Lalu sekelebat ingatan saat pertama kali Swara menatapnya muncul begitu saja.
Flashback
Matanya terbuka dengan perlahan, ia melihat tempat sekitar yang masih terlihat buram. Ia meringis saat merasakan sakit kepala yang luar biasa, hingga membuat seseorang yang sejak tadi satu ruangan dengannya tersadar.
"Tuan sudah siuman." Ucapnya dengan nada senang. "Tolong tunggu di sini sebentar, saya ingin memanggil kakek saya."
Dia tidak bisa melihat dengan jelas wajah perempuan yang berbicara padanya. Namun ia menuruti perkataannya untuk tetap diam menunggu sampai perempuan itu datang. Ia memejamkan mata sambil memegangi kepalanya yang terlilit dengan perban. Rasa sakitnya sungguh tidak main main, sebenarnya apa yang telah terjadi pada dirinya?
Bahkan untuk mengingatnya saja ia tidak bisa.
Beberapa saat kemudian ia mendengar langkah kaki yang mulai mendekat. Ia membuka mata dan kali ini ia bisa melihat dengan jelas, seorang laki laki tua dan perempuan tadi menatap dirinya dengan senang. Seolah memang sedang menunggu dirinya untuk sadar.
"Jangan bergerak!" Kakek itu segera menghampiri saat melihat pria itu ingin duduk. "Kamu masih butuh istirahat, sebaiknya tetap tidur saja ... Perkenalkan nama saya Nararya, panggil saja kakek Nar." Nararya memperkenalkan dirinya dengan begitu ramah.
Pria itu mengangguk pelan, lalu tatapannya berpindah pada perempuan yang pertama kali ia lihat tadi. Seolah mengerti , Nararya membuka suara. "Dia cucu saya, namanya Kalinda Sifabella. Kamu bisa memanggilnya Kalinda."
Pria itu menatap Kalinda yang tersenyum ramah kepadanya. "Lalu ... Siapa namamu?" Tanya Nararya.
Pria itu hanya diam, ia sedang berusaha mengingat. Namun bukannya ingatan ia malah mendapatkan rasa sakit di kepalanya, hingga Nararya menyuruhnya untuk istirahat dan meninggalkannya sendirian di sana bersama keheningan.
Lalu dalam diam, ia bergumam. "Aku tidak ingat."
___
Hallo terima kasih sudah membaca❤
See you:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas (End)
ChickLitSebuah pernikahan yang tak pernah terbayangkan. Membuat Kalinda harus menghadapi semuanya dengan tegar. Ia tak menyangka, menikah dengan pria yang asal usulnya tak ia ketahui membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Apalagi ketika sat...