Aku berdiri sembari bersedekap dada. Lelaki yang saat ini kupandandangi hanya tersenyum tanpa merasa bersalah. Saat masih setia mengikutiku tadi aku mengancamnya untuk segera pergi, namun di sela-sela pertengkaran itu perutnya berbunyi. Sontak saja itu membuatku iba, apakah semalaman dia tidak makan? Di mana saja istri yang baru saja dinikahinya hingga tidak bisa melayani suaminya dengan benar.
Hingga jadilah seperti sekarang, sepiring mie instan itu sudah habis tak tersisa. Hanya meninggalkan sang empu-nya yang hanya memandangiku tanpa berniat pergi setelah diberi makan.
"Sudah selesai?" Tanyaku dengan nada tak bersahabat yang dijawab dengan anggukan, mirip seperti bocah kelas empat.
Dari posisi berdiri aku mendekat ke arah meja dan mengambil piring untuk segera kucuci. Tanpa menatap matanya aku pergi begitu saja. Meninggalkannya sendirian tanpa peduli apa yang akan dia lakukan, syukur-syukur dia segera hilang.
Akan tetapi sepertinya salah. Dari arah belakang aku mendengar suara langkah kaki yang perlahan mendekat. Aku masih melanjutkan mencuci piring, masih berpura-pura tak mendengar apa-apa. Hingga tiba tangan kekar itu melingkar di perutku, aktivitasku seketika terhenti. Tubuhku mematung, jantungku lagi-lagi tak sinkron dengan akal. Ia berdegup dengan kencang, tak memberiku ruang untuk menghirup udara segar.
"Parfum apa yang kamu pakai?" Tubuhku merinding mendengar bisikan itu.
"Tidak ada. Tolong lepaskan." Aku berusaha untuk menjauhkan tubuhnya dariku, namun pelukan itu terasa semakin erat.
"Maaf." Ucapnya parau, namun terdengar sangat jelas.
Gerakan perlawanku seketika terhenti, dadaku kembali berdenyut nyeri. Aku tak tau harus bersikap bagaimana sekarang, semua keberanian rasanya menghilang begitu saja.
"Aku ingin menjelaskannya langsung dari mulutku, tapi sialnya kamu lebih dulu tau."
Entah sejak kapan pelukan itu terasa nyaman. Aku tak lagi melawan, kulanjutkan membilas piring dengan perlahan, sembari menunggu kalimat apa yang akan dia ucapkan selanjutnya.
"Kami menikah di atas perjanjian, hanya karena perusahaan. Ayahnya adalah salah satu rekan bisnis lama di perusahaan papa. Saat ini situasinya sedang tidak baik-baik saja, jadi kami terpaksa menikah ... Tapi kamu harus percaya, bahwa aku akan selalu setia."
Ingin aku tertawa saat itu juga. Sepertinya makna setia kita artikan dalam hal yang berbeda. Mungkin baginya setia hanya tentang masalah perasaan yang tak akan berpindah ke lain tujuan. Namun bagiku setia tak hanya tentang perasaan, tapi juga status sosial. Apakah orang luar bisa menyimpulkan bahwa pasangan kita setia sedangkan dia menjalin status hubungan baru dengan perempuan lain? Kuyakin mereka tak akan percaya.
"Kita akan bercerai setelah satu tahun. Itu kesepakatannya."
Semudah itukah? Aku tak sepenuhnya yakin.
"Apakah kamu percaya padaku, hm?"
Aku masih setia tak menjawab. Masih dengan posisi yang sama, aku bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu tak lebih cepat dariku. Pikiranku seakan menguap begitu saja, haruskah aku mempercayai ucapannya sekarang? Bagaimana jika nanti kenyataan tak sesuai dengan apa yang sudah dikatakan? Apakah ini saat yang tepat untuk takut merasakan kehilangan?
"Entahlah." Jawabku pada akhirnya.
Mungkin saja aku memang harus mempercayainya. Sebab jika bukan dia, harus dengan siapa lagi aku menyandarkan kepala? Hanya dia satu-satunya yang kupercaya. Setidaknya untuk saat ini, sebab aku tak tau harus melakukan apa jika dia akhirnya pergi.
"Mungkin aku harus percaya. Sebab pada siapa lagi aku harus percaya selain Mas? Meskipun rasanya sakit jika harus tinggal, setidaknya aku tak merasa sendirian."
Untuk beberapa saat tak kudengar lagi balasan. Kami saling terdiam. Lalu kurasakan pelukan itu mulai memudar, hingga akhirnya terlepas, lalu berjalan menjauh secara perlahan.
****
Kupikir dia akan pulang setelah mendengar ucapanku tadi. Tapi nyatanya dia masih betah lebih lama untuk tetap berada di kontrakan ini. Jika aku tau akan bertemu dia walaupun sedang tidak bekerja, mungkin seharusnya tadi aku tetap datang kerja. Rasanya sia-sia. "Mas tidak pulang?"
Pertanyaanku itu berhasil memutuskan fokusnya pada layar ponsel yang sejak tadi menyibukkannya, mungkin sedang mengurus pekerjaan.
"Apa aku sedang diusir?"
"Tidak, bukan seperti itu, aku hanya bertanya." Jawabku. Ia malah menganggukkan kepala mendengar itu.
Aku menghela napas saat melihatnya kembali sibuk ke arah layar ponsel. Sudah sekitar dua jam dia berada di sini. Hari sudah semakin sore, dan sepertinya sebentar lagi Mia akan segera pulang. Untuk kedua kalinya aku kembali menghela napas, kapan pria itu akan berinisiatif pergi dari sini dengan sendirinya. Seharusnya tadi aku mengiyakan saat ia bertanya apakah aku mengusirnya.
"Aku akan segera pergi. Tapi setelah ini." Aku melihatnya yang masih nampak sibuk.
Tak ingin menanggapi aku memilih duduk di kursi yang berada sedikit jauh dari posisinya. Dari sini aku bisa melihat dengan jelas raut wajahnya yang nampak serius, sesekali dahinya mengerut entah sedang membaca apa. Dan itu berhasil menjadi pemandangan yang indah. Mataku terus memperhatikannya.
Sejujurnya aku tak tau harus menanggapi semuanya seperti apa. Terkadang aku berfikir bahwa aku tidak seharusnya marah padanya, sebab aku merasa tak memiliki hak untuk itu. Namun di sisi lain aku juga merasa memiliki hak untuk marah, karena bagaimana pun juga aku adalah istri sahnya. Saat masih sibuk dengan pikiranku sendiri, seseorang sudah berdiri tepat di depanku. Aku mendongak menatap ke arahnya.
"Aku akan pergi."
Mendengar itu aku ikut berdiri. Kenapa sekarang rasanya malah aku tidak benar-benar menginginkannya untuk pergi. Namun aku hanya bisa mengangguk menanggapi.
Sebelum dia pergi, tanganku menarik tangannya lalu menciumnya. Semua itu kulakukan secepat kilat, sebab kuingat-ingat bahwa aku sangat jarang melakukannya. Karena belum berani dan terbiasa, takut jika dia tidak menyukainya. "Hati-hati." Ucapku kaku.
Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, dia terlihat terkejut. Ah, rasanya sekarang aku baru menginginkannya segera pergi agar tidak menatapku seperti saat ini. Aku menunduk, tak berani menatapnya.
Cup
Satu kecupan itu mendarat di dahi. Mataku melebar, dia baru saja membalas dengan mencium keningku. Apakah aku hanya bermimpi?
"Aku pergi."
Setelah mengatakan itu ia melangkah pergi. Meninggalkanku sendiri dengan keyakinan bahwa pipiku sekarang memerah karena perlakuannya tadi.
"Tunggu. Sepertinya ada yang ketinggalan."
Aku mengangkat kepala menatap ke arahnya. "Benarkah, apa yang ketinggalan?"
"Ini."
Cup
Satu ciuman lembut mendarat ke pipi sebelah kiri. Aku menatapnya tak percaya, sedangkan dia hanya terkekeh menanggapi reaksiku. "Segeralah pulang."
Setelah itu dia pergi, benar-benar pergi. Aku tidak tau apa yang mendasarinya bisa bersikap semanis ini. Jika saja tadi kudapatkan tawaran pulang sekarang bersamanya, mungkin akan langsung kuterima. Aku merasa dia berubah, berubah menjadi seseorang yang aku suka.
Sialnya jika sudah seperti ini, aku tak bisa lebih lama lagi jauh-jauh darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas (End)
ChickLitSebuah pernikahan yang tak pernah terbayangkan. Membuat Kalinda harus menghadapi semuanya dengan tegar. Ia tak menyangka, menikah dengan pria yang asal usulnya tak ia ketahui membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Apalagi ketika sat...