Alex mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Amarah seolah tengah menyulut keduanya, mereka sama-sama menyumpah serapahi orang yang sudah berani mempertaruhkan nyawa perempuan yang sangat berharga bagi mereka. Lihat saja, tak akan ada kata ampun bagi mereka.
Mobil itu berhenti di sebuah gedung tua yang sudah rubuh. Jarak antara apartemen dengan lokasinya sekarang adalah satu jam perjalanan, itupun dengan kecepatan di atas rata-rata. Swara membanting pintu mobil disusul oleh Alex, mereka berdua menatap sejenak bangunan tua itu lalu saling pandang. "Di mana ruangannya?"
Alex yang mendengar pertanyaan sang kakak segera mengedarkan pandangan, "di sana!" Swara mengikuti arah tunjuk Alex yang mengarak pada ruangan terpisah di samping gedung utama.
"Kau yakin?"
Alex mengangguk mantap, orang itu bilang bahwa kedua perempuan itu ada di dalam ruangan yang terpisah dari gedung. Dan anehnya entah mengapa tak ada penjaga di luar, tapi Alex tak terlalu memikirkannya, mereka berdua bergegas menuju ke sana.
Saat sampai di depan ruangan pintu terkunci dari luar. Tanpa pikir panjang Swara segera mendobraknya dengan keras, hingga dobrakan yang ke empat akhirnya pintu berhasil terbuka. Keadaan pertama yang mereka lihat adalah, lengang, tak ada siapa-siapa di sana. Namun lubang di sudut dinding memberi jawaban bahwa mereka telah berhasil kabur. Semudah itukah? Kenapa bisa tidak ada penjaga yang menjaga mereka? Apa semua ini hanya main-main belaka.
"Shit! Kenapa bisa mereka kabur tanpa penjagaan di sini. Bukankah itu aneh, atau jangan-jangan mereka tidak ada di sini sebelumnya?" Alex sudah menggebu-gebu.
"Ada yang aneh." Swara bergumam, Alex terdiam mengamati kakaknya yang seolah mencari sesuatu. "Ada apa?"
"Shuttt!"
Alex diam, Swara memberikan kode lewat sorotan mata untuk melihat apa yang ada di atas mereka.
"Cctv." Alex berkata yang mendapat anggukan oleh Swara. "Sepertinya mereka hanya mengawasi lewat cctv. Mereka merencanakan sesuatu, sebaiknya cepat kita cari kedua perempuan itu."
Swara mengeraskan rahang, otot pipinya seketika muncul ke permukaan. "Lihat saja apa yang akan lakukan jika mereka berani melukai Kalinda."
"Oh ayolah kak, tidak ada waktu untuk mengancam angin. Mereka tidak ada di sini, sebaiknya kita segera pergi."
Cetak
"Aw!" Alex meringis kesakitan sambil memegang kepala.
"Diamlah Lex! Kau membuatku ingin menghajarmu."
Alex terdiam dengan kebingungan, "apa salahku?"
Pertanyaan itu tak mendapat jawaban karena Swara segera meninggalkannya dan mengikuti jejak yang kemungkinan akan di lewati oleh Kalinda. Lalu beberapa saat kemudian Alex buru-buru menyusul dari belakang. "Kita cari ke mana?" Tanya Alex.
"Tunggu, itu apa?"
Alex juga memandang benda yang sama, keduanya mendekat. "Kalung." Swara berkata lalu mengambilnya.
Kedua bola mata Alex melebar, "itu kalung milik Clara. Ya, aku masih ingat, dulu aku yang memberikan itu padanya. Jadi selama ini dia masih menyimpannya, kupikir dia benci dengan apapun yang berhubungan denganku."
"Tapi kenapa kalung itu bisa ada di sini?"
"Mungkin mereka meninggalkan jejak." Jawab Alex.
"Bisa jadi."
Lalu keduanya segera berjalan menuju arah jalan setapak dan meninggalkan mobil mereka di sana. Beberapa kali mereka memanggil kedua perempuan itu di antara semak-semak belukar dan juga pepohonan. Tapi sudah sepuluh menit mereka berteriak masih saja tidak mendapat balasan dari orang yang dipanggil. Sedangkan waktu terus berjalan, mereka harus membawanya pulang sebelum matahari tenggelam. Sebab akan sangat berbahaya jika sudah malam, sebab jalanan akan sangat gelap.
"Terus panggil nama mereka." Alex mengangguk menanggapinya.
****
Entah mereka akan menuju ke mana, sejak tadi ia hanya berjalan tanpa arah. Clara yang sudah tidak sanggup untuk berjalan lagi hanya bisa memaksakan diri dengan bantuan Kalinda. Mereka mendengar kebisingan dari arah timur sejak tadi, namun tak kunjung juga menemukan pemukiman ataupun seseorang. "Tunggu sebentar, aku sudah tidak kuat berjalan lagi." Clara duduk di atas batu yang lumayan besar dengan ikatan tangan yang sudah terlepas.
"Sedikit lagi, aku yakin sebentar lagi ada pemukiman warga." Kalinda berusaha meyakinkan Clara untuk tak menyerah.
"Kakiku sudah sangat sakit, kamu pergi saja dan cari bantuan, aku akan tunggu di sini."
"Tidak tidak, bagaimana jika mereka menangkap kamu di sini? Kamu pasti bisa, kurang sedikit lagi." Entah kata sedikit itu untuk hitungan berapa menit. Kalinda hanya tidak ingin Clara menyerah untuk berjalan, mereka sudah sejauh ini, tidak mungkin jika hanya salah satu dari mereka yang akan lolos nanti.
"Ayo, kumohon." Matanya berkaca-kaca, Kalinda benar-benar tidak ingin meninggalkan Clara sendirian di sini.
Ia menarik napas panjang lalu mengangguk sembari menatap Kalinda. Clara tak bisa menyangkan orang asing mau menolongnya dan ikut masuk dalam masalahnya sampai sejauh ini. Tidak seperti dirinya yang memilih pergi daripada bertahan dengan penderitaan yang di dapat. Itu kembali mengingatkannya pada Alex yang tiga hari lalu mendatanginya untuk meminta maaf dan menjelaskan semua masalahnya padanya. Ia hanya ingin hidup tenang, hingga ia menolak mentah-mentah saat pria itu meminta untuk kembali padanya, meski Clara tau kepergiannya dulu bukan seratus persen salah Alex, tapi kali ini ia hanya tidak ingin masuk dalam masalah kehidupan Alex lebih jauh lagi. Walaupun bersama orang yang ia cintai sekalipun.
"Ayo ...." Kalinda meraih pundak Clara yang membuatnya sedikit tersentak dari lamunan. Dengan perlahan Kalinda memapah Clara dengan memangku lengan kanan ke atas pundak.
"Dengar, jika kamu lelah bilang ya, kamu boleh lanjutkan perjalanan tanpa aku."
"Iya aku tau."
Beberapa meter melanjutkan perjalanan mereka melihat sebuah rumah yang cukup besar. Kalinda tidak bisa menyembunyikan binar di wajahnya, ia menemukan sebuah harapan. Tidak berbedaj jauh dengannya, Clara pun senang setelah akhirnya melihat sebuah rumah. "Ayo coba minta bantuan ke rumah itu."
Pelan-pelan Kalinda dan Clara melangkahkan kaki. Rumah ini tidak dibangun gerbang atau semacamnya, hanya sebuah halaman yang sangat luas di depannya. Itu membuat seseorang mudah untuk masuk. Mungkin tidak terlalu penting membangun gerbang di area tempat ini, sebab tidak ada tetangga yang akan mengganggu.
Keduanya berdiri di depan pintu yang tertutup rapat. Clara menyuruh Kalinda agar mengetuknya. Ia menurut, ia mengetuk beberapa kali.
"Permisi ... Ada orang di dalam?"
Tak ada balasan selama beberapa menit, namun setelah ketukan yang kedua pintu rumah akhirnya terbuka. Di sana terlihat laki-laki yang kisaran berusia lima puluh tahunan namun masih tetap muda. Pria itu tersenyum ramah. "Siapa kalian? Bagaimana bisa kalian ada di sini? Ini tempat yang jarang didatangi orang."
Keduanya saling bersitatap, "sebenarnya kami tersesat pak, saya juga habis jatuh, kalau boleh kami mau numpang telfon sama istirahat sebentar." Ujar Clara.
"Boleh, silahkan masuk."
Kalinda tersenyum, "terima kasih banyak, pak. Kita tidak akan lama-lama."
"Jangan terburu-buru, saya akan senang jika kalian singgah di sini lebih lama." Ucapnya dengan senyum lebar, namun entah mengapa terlihat aneh bagi Kalinda. Setelah itu mereka masuk ke dalam rumah disusul dengan pintu yang kembali tertutup.
****
Kasih bintang kalau kalian suka yaa
Mendekati end:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas (End)
ChickLitSebuah pernikahan yang tak pernah terbayangkan. Membuat Kalinda harus menghadapi semuanya dengan tegar. Ia tak menyangka, menikah dengan pria yang asal usulnya tak ia ketahui membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Apalagi ketika sat...