Chapter 36

680 52 1
                                    

Alex membuka pintu apartemen, ia mempersilahkan Kalinda masuk yang dibalas anggukan olehnya. "Dia ada di kamar, langsung masuk aja." Lagi-lagi Kalinda mengangguk.

Ia menarik napas sebelum membuka pintu, setelah itu membukanya secara perlahan. Di atas ranjang terlihat suaminya yang memejamkan mata, mungkin tertidur. Kalinda menutup pintu dengan hati-hati, lalu berjalan mendekat ke arah ranjang. Matanya tak sengaja melihat obat yang ada di atas meja, masih utuh dengan air dan roti di sana. Kalinda menghela napas melihatnya.

"Memang keras kepala." Gerutunya.

Ia menatap wajah itu yang terlihat pucat dari biasanya. Kalinda mengulurkan tangan, ia menyentuh dahi kemudian bergeser ke pipi. "Demam."

Swara yang merasakan sentuhan di wajahnya mulai membuka mata, samar-samar ia melihat kehadiran seseorang di sampingnya, lalu semakin jelas jika itu adalah Kalinda. "Bagaimana bisa ke sini?" Tanyanya dengan suara parau.

Tak ingin menjawab, Kalinda mengalihkan pembicaraan. "Kenapa obatnya masih utuh?"

Swara memejamkan mata, meskipun sudah tidur lama matanya masih tetap saja terasa berat untuk terbuka. "Ketiduran."

Kalinda menghela napas, "tunggu sebentar." Setelah mengatakan itu ia keluar dari kamar. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa semangkuk bubur.

"Makan dulu, mas." Swara bergumam, lalu berusaha mendudukkan tubuhnya, Kalinda yang melihat pria itu kesusahan berusaha membantu. Melihat sikap telaten Kalinda senyum Swara mengembang, meskipun samar.  "Biar aku yang suapin." Ucapnya. Kalinda mulai menyendok bubur itu lalu meniupnya perlahan, setelah itu mengarahkan ke mulut suaminya. Ia memperhatikan Swara yang mengunyahnya dengan pelan, sesekali terlihat alisnya terangkat, entah apa maksudnya.

"Hambar." Swara berkata dengan raut datar.

Mendengar itu dahinya mengerut, lalu mengambil seujung sendok untuk ia cicipi, dan itu tidak luput dari perhatian Swara, "enggak kok, enak. Karena sakit jadi lidah mas kurang tajam."

"Makan lagi, ayo buka mulutnya. Aaaa ...." Ia berkata sembari  membuka mulutnya sendiri. Swara tak kuasa, ia memalingkan wajah, ia bisa overdosis jika Kalinda terus memperlakukannya seperti ini. Apalagi ia sudah menahan untuk tidak menyentuh istrinya sendiri.

"Ayo mas ...." Sadar akan lamunan Swara kembali menoleh, sorot mata Kalinda persis seperti ibu yang menyuruh anaknya makan. "Aku sudah kenyang."

"Ck, cuma satu sendok nggak mungkin kenyang. Tiga sendok lagi, ya?" Entah bagaimana Swara mengangguk begitu saja, lalu dengan semangat Kalinda kembali menyuapi suaminya, hingga suapan yang terakhir.

Setelah selesai Kalinda menyuruh Swara untuk meminum obatnya, rasanya melihat lelaki yang ada di depannya ini sakit membuat selera makannya hilang. Jika saja boleh jujur Kalinda lebih menyukai jika Swara bersikap sok sepadanya daripada terbaring lemah seperti ini. Jika sudah seperti ini terlihat bukan seperti Swara yang ia kenal. "Sekarang Mas tidur saja, supaya cepat sembuh."

Kalinda hendak berdiri, namun lengannya ditahan oleh Swara. Ia menatap laki-laki itu penuh tanya, "jangan pergi, temani aku di sini."

Deg, tiba-tiba Kalinda lupa caranya bernapas. Ia tak tau harus menjawab bagaimana. Dan akhirnya ia hanya bisa mengangguk pelan sembari kembali duduk di samping ranjang. Swara terus saja menatapnya tanpa memalingkan wajah, seolah tak ingin melewatkan momen memandang istrinya yang sedang ia perjuangkan untuk terus hidup bersama. Dan itu justru membuat Kalinda salah tingkah. "Ke-kenapa Mas lihat aku kayak gitu. Sebaiknya cepat tidur."

Ia berdecak kesal saat melihat Swara yang masih saja menatapnya dalam diam. Lelaki itu sepertinya tak berniat untuk memejamkan mata. Namun jika terus saja ditatap seperti itu maka Kalindalah yang akan benar-benar tidak bisa tidur nantinya, lalu entah dorongan dari mana ia menaruh telapak tangannya ke mata Swara. "Cepat tidur Mas."

Swara mencekal tangannya, lalu menariknya hingga membuat Kalinda terjatuh di sebelahnya "Diamlah jika ingin aku cepat tidur." Ucapnya sambil memeluk tubuh istrinya. Lalu tersenyum tipis saat merasakan tubuh Kalinda tegang karena ulahnya.

****

"Bangun, udah siang. Sepertinya semalam kalian begadang." Alex membuka gorden kamar, sinar matahari langsung menembus ke dalam. "Huh, kemari aja bilang jangan sampai Kalinda tau, tapi waktu di datengin langsung sembuh. Memang ya, pengaruh cinta itu luar biasa."

Swara membuka mata, ia melihat Kalinda sudah tidak ada di sampingnya. "Kemana Kalinda?" Tanyanya tanpa mendengar ucapan Alex barusan.

"Sudah pulang, sejak pagi-pagi sekali."

"Kenapa tidak bangunkan aku?!"

Alex menautkan alis melihat reaksinya. "Memangnya kenapa?"

Swara nampak memikirkan suatu hal, ia menegakkan tubuhnya dalam posisi duduk lalu meminum segelas air yang ada di sebelahnya. "Seharusnya semalam aku membujuknya untuk pulang."

"Lalu? Kedua istrimu itu akan sering bertemu, begitu?" Alex tak bisa bayangkan jika kedua perempuan itu akan tinggal bersama. Bukankah akan terjadi perang dunia nantinya?

"Tentu saja tidak, aku akan menyewa apartemen." Ia telah memikirkannya, mungkin tinggal jauh dari semua kekacauan ini akan jauh lebih baik. Di sana ia akan kembali memulai rumah tangga yang harmonis, membayangkannya saja membuat Swara tak sabar untuk segera mengajak Kalinda tinggal bersama.

"Selama masih memegang perusahaan kurasa kakak akan sulit untuk benar-benar menjauh dari kekacauan ini. Mama akan tetap mengawasimu, lalu Alana juga masih bisa bertemu denganmu ... Saranku, sebaiknya selesaikan dulu kedua wanita itu, setelah itu baru lalukan sesukamu bersama Kalinda." Alex duduk di sofa yang ada di sana. Ia berkata sembari menatap layar ponselnya.

"Sejak kapan kau pandai menceramahi ku?"

Ia menaikkan bahu, "entahlah, mungkin sejak aku terseret dalam masalah rumah tangga kalian." Swara berdecak mendengar jawaban Alex. Namun ia menyetujui perkataannya, selama ia belum membereskan itu masalah akan terus datang menghampirinya dan juga Kalinda. Dan untuk memberantas mereka, ia butuh rencana yang sangat matang.

"Bagaimana jika kau saja yang memegang perusahaan?" Alex menaruh ponselnya lalu menatap Swara datar, "haha, ide yang bagus. Tapi sayangnya aku tidak berminat."

Mendengar jawaban itu Swara terkekeh pelan. "Sudah kuduga, lagi pula aku juga tidak akan tenang jika kau yang pegang."

"Kau meremehkan ku?" Jawabnya tak terima, "siapa yang memegang perusahaan selama kau pergi berbulan-bulan, hah?"

Tak ingin menanggapi Swara beranjak dari sana, ia pergi begitu saja menuju kamar mandi.

"Ck, dia masih saja suka meremehkan ku." Ucapnya pada diri sendiri. Setelah itu kembali fokus pada ponselnya. Hingga ketika sebuah notifikasi pesan muncul dari sana, raut wajahnya berubah. Terlihat foto dua perempuan yang sedang tak sadarkan diri terikat satu sama lain. Alex mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Sebab kedua perempuan itu adalah Clara dan Kalinda.

"Shit!"

Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang