Chapter 21

501 39 0
                                    

Kalinda pov

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kalinda pov

Sulit mengatakan semua ini bermula dari mana. Dari kebersamaan yang tak pernah direncanakan atau malah memang Tuhan yang menginginkannya demikian. Sejak kecil mimpiku tentang pernikahan tak pernah serumit yang aku jalani sekarang, hanya membayangkan tentang bagaimana aku bahagia mendapatkan sosok lelaki yang aku cinta, walau aku tak tau dengan siapa. Semudah bayangan bahwa kelak aku akan membangun rumah di samping rumah kakek dan menjalani hari-hari bahagia membangun rumah tangga di sana, membesarkan anak-anakku dengan penuh suka cita.

Akan tetapi nyatanya takdir tak menulis seperti apa yang selama ini aku bayangkan, ia seolah membuat rancangannya sendiri tanpa menyelipkan sedikitpun rencanaku di dalamnya. Hingga mau tak mau aku pun pasrah. Mengikuti takdir Tuhan yang tak pernah kuduga.

Awalnya kupikir itu semua masih bisa diperbaiki dengan berjalannya waktu. Dan nyatanya itu memang benar, walaupun di awal aku perlu banyak bersabar dan nampak mustahil, tapi setidaknya sekarang bisa kudapatkan apa yang kuinginkan. Yaitu cinta dari pria yang yang sudah berani mengambil tanggung jawa atasku beberapa bulan terakhir, meskipun masih ada perasaan ragu dalam hati.

Ceklek....

Terdengar pintu kamar yang terbuka pelan, mengalihkan segala lamunanku. Di sana nampak Swara yang baru saja pulang setelah berpamitan pergi beberapa jam yang lalu. Wajahnya nampak lesu, dan sekarang sudah hampir pukul dua dini hari. Urusan apa yang sampai membuatnya pulang selarut dan sekacau ini?

"Mas, kenapa baru pulang?" Kubenarkan posisiku di atas kasur agar duduk tegak.

Ia melirikku sekilas, sorot matanya menunjukkan ada beban yang ia tahan, "ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditunda hingga besok, jadi aku harus selesaikan."

"Pekerjaan apa?" entah hanya perasaanku saja atau memang benar, ada sesuatu ia sembunyikan. Sebab ia tak menatap lawan bicaranya saat mengatakannya.

"Bukan apa-apa." Sudah kuduga ia tak akan cerita.

"Kenapa kamu belum tidur, hah?"

Mendengar pertanyaan itu membuatku sedikit kelimpungan, "tadi aku sudah tidur. Lalu terbangun."

Ia menghela napas panjang mendengar jawabanku barusan. Lalu ia berjalan ke sisi ranjang, membaringkan tubuhnya tanpa repot-repot terlebih dulu membersihkan tubuh sebelum tidur.

"Kemarilah."

Mendengar itu jantungku seolah berhenti berdetak. Matanya menyorot agar aku mendekat ke sampinnya. Lalu dengan ragu-ragu aku mendekat sembari menunduk, sekilas kulihat senyum kemenangan dalam wajahnya.

"Tidurlah, ini sudah malam." Aku bisa bernapas lega setelah mendengarnya.

"Mas juga cepat tidur." Bukannya menjawab, ia malah tersenyum mendengar ucapanku.

"Oke." Jawabnya singkat. Setelah itu kurasakan pergelangan tangannya memeluk perutku dari arah samping. Bisa kukatakan ini sama sekali tidak normal. Sebab lagi-lagi jantungku berdetak tak karuan.

"Kamu menyuruhku tidur tapi matamu terus melebar seperti itu. Cepatlah tidur."

Aku tersentak. Kepalaku menoleh ke arahnya, matanya sudah terpejam. Dari posisiku sekarang bisa kulihat dengan jelas wajah tampannya, serta garis wajah yang menyeramkan jika ia sedang marah. Dan aku sangat menikmati memandanginya sekarang.

Lalu tiba-tiba telapak tangan besarnya menutupi mataku. "Sudah kubilang cepatlah tidur, kamu bisa puas memandangi wajahku besok pagi. Sekarang waktunya tidur."

Aku tersenyum mendengarnya, telapak tangannya terangkat. Lalu segera aku menuruti ucapannya barusan, menutup mata untuk segera tidur. Walaupun senyumku masih terus timbul, mungkin hingga matahari muncul.

***

Dengan tidur selarut itu tak heran jika kita kesiangan di pagi harinya. Swara berangkat lebih dulu lalu kemudian aku menyusulnya. Di bawah aku melihat nyonya besar yang tengah berdiri sembari menelfon seseorang, pandangan kita sempat bertemu, lalu terputus saat ia memalingkan wajah, seolah tak ingin peduli dengan kehadiranku di sana. Itu jauh lebih baik dari pada ia mengajak bertengkar di pagi hari yang segar ini. Dengan yakin kulanjutkan langkah menuju pintu keluar, kemudian masuk ke dalam taxi yang sudah aku pesan.

Setelah beberapa menit perjalanan akhirnya taxi berhenti di depan kantor yang aku minta. Kuserahkan beberapa lembar uang, tersenyum ramah, lalu pergi masuk ke dalam.

Namun baru saja aku masuk, kulihat Alanan duduk menunggu seseorang di ruang tunggu. Kemudian ia berdiri saat melihat kehadiranku.

"Hay." Sapanya dengan sumringah.

Aku tersenyum menanggapi, "sebenarnya Karan sudah berangkat sejak tadi, mungkin sekarang dia ada di ruangannya." terangku dengan suara pelan.

"Oh aku tau, aku tidak mencarinya. Aku sedang menunggumu. Sebenarnya hari ini aku benar-benar bosan dan butuh teman untuk keluar. Aku ingin mengajakmu." Tawarnya dengan ramah. Dan jangan lupakan senyuman cantiknya.

"Em, aku lagi kerja. Maaf aku nggak bisa." Ucapku tak enak.

"Oh ayolah, lagi pula bos perusahaan ini suamimu sendiri. Apa yang harus dikhawatirkan?" Ucapnya memaksa.

"Shtttt.... Jangan keras-keras." Kulihat orang-orang di sekeliling, untungnya mereka tak peduli.

"Okey, kita pergi?"

Aku menghela napas, apakah ini yang dinamakan dengan terjebak oleh keadaan?

Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang