Chapter 24

478 45 0
                                    

Bedebah!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bedebah!

Pria tua itu. Seharusnya sejak awal sudah bisa kuduga, namun nyatanya aku lupa akan kehadirannya. "Siapa?" tanyaku seolah tak mengerti yang dia maksud.

"Kau lupa? Benarkah?" tawanya menggema di dalam ruangan kosong ini.

Sedangkan aku tersenyum melihat tingkah konyolnya. Dulu kupikir Tuan Adhitama hanya memperkerjakan gelandangan biasa. Namun kali ini kubuktikan bahwa asumsiku itu salah, dia bisa jadi sangat beringas jika sudah tak waras. Dan aku menyukainya.

"Baiklah, biarku perjelas. Agustinus, rekan bisnis perusahanmu, sekaligus ayah dari Alana tunanganmu. Apa sekarang kau sudah ingat?"

Senyumku mengembang. "Kapan aku pernah lupa?" setelah itu aku berbalik dan pergi dari sana.

Udara seketika terasa segar saat keluar dari ruangan gelap dan pekat di bawah sana. Mungkin kupikir diperlukan ventilasi untuk mengurangi aromanya, akan kubicarakan itu dengan Alex nanti.

Langkahku memelan dan akhirnya berhenti, kulihat Alex yang terlihat memarahi salah satu penjaga di sini, seingatku penjaga itu adalah pimpinannya. Alisku terangkat saat satu pukulan melayang dari tangan Alex, menariknya, pria didepannya hanya diam tak melawan. Padahal aku yakin Alex tak lebih baik darinya untuk masalah pukul memukul lawan.

Setelah kurasa cukup melihat drama dari kejauhan, aku berjalan mendekat. "Ada apa?"

Keduanya kompak menoleh, bisa kulihat sudut bibirnya berdarah karena pulukan Alex barusan.

"Oh, hanya kesalahan kecil." Ia kembali menatap pria bertato di hampir seluruh wajahnya itu dengan tajam. "Pergilah sebelum aku ingin menghabisimu!" mendengar Alex mengatakan itu aku merasa ingin tertawa, pria itu segera pergi dari sini.

"Kau sadar laki-laki itu bisa meremukkan tulangmu hanya dalam sekali gerakan, kan?" Tanyaku ingin tau bagaimana pendapatnya.

"Ya, aku tau," dia terkekeh pelan, "tapi sesekali terlihat keren itu menyenangkan."

Aku menggelengkan kepala, dia benar-benar seperti bocah.

"Bagaimana? Herri mengatakan apa saja?" Tanyanya.

"Dia hanya mengatakan siapa yang sudah menyuruhnya."

"Siapa?"

"Ikuti aku!" aku berjalan melewatinya setelah mengatakan itu. "Kemana? Apa kita akan mencari orang itu sekarang?"

"Tidak. Temani aku mencari udara segar." Meskipun aku sudah berjalan beberapa langkah, tapi bisa kudengar Alex yang berdecih pelan.

Setidaknya selagi di sini aku juga ingin menjernihkan pikiran. Beberapa bulan belakangan ini tak pernah kubayangkan akan mengalami semua ini. Dimulai dari fakta bahwa kematian papa adalah sebuah konspirasi. Aku masih ingat saat pertama kali mengetahui fakta itu langsung dari dokter yang menangani, dia bilang dia sudah mengatakan semuanya pada istri mendiang yang pastinya adalah Sintya. Tapi perempuan licik itu hanya hanya diam. Tapi pertanyaannya, ada hubungan apa Sintya dengan Agustinus sekarang? Jika benar yang Herri katakan bahwa yang menyuruhnya membunuhku adalah Agustinus dengan alasan aku mengetahui tentang kematian papa. Lalu apa hubungannya? kecuali jika dia memang benar terlibat didalamnya. Memikirkan itu senyumku tercipta.

"Di tengah hutan seperti ini sepertinya membuatmu gila." Alex menatap heran kearahku yang justru membuat senyumku semakin lebar.

"Bagaimana menurutmu jika kukatakan bahwa yang menyuruh Herri bukanlah Sintya?"

Dahinya mengerut, "lalu siapa?"

"Mungkin. Seorang Agustinus."

Alex melebarkan matanya, "pantas beberapa minggu lalu aku pernah melihatnya keluar dari ruangan yang sama dengan Sintya!"

"Kenapa tidak memberitahuku?!"

Dia mengedikkan bahu, "aku lupa."

"Aww!" protesnya sembari memegangi kepala.

"Pukulan bisa mengurangi penyakit lupa." Setelah mengatakan itu aku berjalan meninggalkannya sendirian.

"Kak! kau gila! sejak kapan kau jadi semenyebalkan ini!" Teriaknya dari belakang yang hanya kuhiraukan.

***

Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang