Chapter 7

560 50 1
                                    

Kutemukan dia yang hilang,namun apa jadinya jika dia tak merasa kehilangan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kutemukan dia yang hilang,
namun apa jadinya jika dia tak merasa kehilangan?

___

“Anda mau apa lagi? Tidak cukupkah semua yang sudah anda lakukan pada saya, hm?” wanita cantik dengan rambut dikepang itu menatap dingin lawan bicaranya. Dalam hati merutuki, berani-beraninya pria itu datang saat telah mengacaukan kehidupannya, atau jangan-jangan dia juga ingin menagih semua uang yang telah dikeluarkannya selama ini. Jika memang benar, ia adalah wanita terbodoh yang pernah ada karena mau menerima semua bantuan itu.

Alex menatap sorot matanya yang menampakkan kekecewaan begitu dalam. “Dengar, maafkan aku,” laki-laki itu berkata dengan sungguh-sungguh, membuatnya memalingkan wajah, enggan menatap. “Aku tau, aku tak pantas mendapatkan maaf darimu. Kau boleh sangat memeciku, itu sangat wajar. Tapi aku mohon, terima permintaanku ini.”

Ia hanya diam menunggu laki-laki itu melanjutkan ucapannya.

“Pergilah ke luar negri, aku akan membiayai semua kebutuhanmu di sana. Kau juga akan kuliah, biar aku yang mengatur semuanya.”

Ck. Coba lihat, dengan tidak berperasaan dia menyuruh untuk meninggalkan Negara ini. Sejahat itukah hingga laki-laki yang pernah ia anggap sebagai malaikat pelindung itu menyuruhnya pergi begitu jauh. Ia merasa sesak, lagi-lagi hatinya kembali terluka. Bahkan luka yang dulu belum sembuh sepenuhnya, dan sekarang hatinya harus terluka lagi. Dan itupun oleh orang yang sama.

Ia menatap kosong kesamping tubuh tegap dengan setelah jas itu, sama sekali tak ingin menatap wajahnya yang penuh dengan kepalsuan. “Sekarang dengarkan saya. Tuan Alex,” pandangannya tak berubah, “anda tidak perlu khawatir jika saya akan muncul lagi di hidup anda. Sebab itu tak akan terjadi. Sejak anda membuang saya, sejak itu juga kita sudah menjadi orang asing. Saya sadar diri, saya hanya wanita sebatang kara yang pernah anda kasihani. Namun anda juga jangan lupa batasan hingga bisa mengatur kehidupan saya. Saya akan tetap di sini. Dan itu adalah keputusan saya.”

Setelah mengatakan itu ia pergi meninggalkan Alex tanpa menunggu jawaban darinya. Ia tak butuh jawaban, ia hanya butuh menghindari laki-laki itu dan berdoa semoga tuhan tidak akan pernah mempertemukan mereka kembali. Walaupun dengan situasi yang jauh lebih baik dari saat ini, ia tak ingin bertemu dengannya lagi.

***

Alex turun dari mobil dengan keadaan lesu. Setelah semua yang terjadi hari ini rasanya tenaganya telah terkuras habis, bahkan untuk berpikir pun ia tak sanggup. Kepalanya seolah ingin segera di istirahatkan. Namun sialnya, hari ini ia ada jadwal kunjungan ke perusahan yang telah ia suntikkan modal, atau lebih tepatnya Karanlah yang melakukan itu dulu, ia hanya harus melanjutkan saja.

“Silahkan duduk, pak Alex.” Alex menurut tanpa mengucapkan apapun, setelah duduk ia menatap datar lawan bicaranya.

“Terima kasih banyak telah mau meluangkan waktu untuk datang ke sini,” ia tersenyum ramah. Lantas mulai bicara ngalor-ngidul yang semakin membuat kepala Alex ingin pecah. Ia hanya menanggapi dengan sesekali mengangguk tanpa ingin membalas ucapannya.

“Hari ini saya kurang enak badan, saya harap anda mengerti. Saya tidak bisa berlama-lama di sini.”

“Oh iya, pak. Seharusnya bapak istirahat saja jika memang sedang sakit.” Alex memutar bola matanya malas. Lantas ia berdiri hendak pergi.

“Pak, tunggu sebentar. Ada yang ingin saya tanyakan.”

Pergerakannya terhenti. “Silahkan.” Tanyanya sambil kembali mendudukkan bokongnya dengan sabar.

“Maaf sebelumnya jika saya lancang,” pria paruhbaya itu menatap ragu, “apakah anda dengan pak Karan sedang memiki masalah? Saya benar-benar tidak ingin ikut campur, tapi saat saya melihat pak Karan datang ke sini melamar kerja. Saat itu saya begitu terkejut. Tapi anehnya, pak Karan seolah bersikap biasa saja. Bahkan seperti tak mengenali saya.”

Alex menegang mendengar pengakuan pria itu barusan, jantungnya memompa lebih cepat dari sebelumnya. Bahkan sakit kepala yang ia rasakan langsung menguap begitu saja, “anda jangan mengada-ngada.” Masih dengan berusaha tenang Alex mengelak. Pasalnya tak ada yang tau jika Karang telah hilang dari rumah berbulan-bulan selain anggota rumah. Ia sendiri pun tak tau kakaknya itu ada di mana, namun mamanya selalu mengatakan jika Karan membutuhkan waktu sendiri setelah mendengar kematian papanya.

“Demi Tuhan saya tidak berbohong, kemarin saya melihat dengan mata kepala saya sendiri.”

“Sekarang dia ada di mana?” Sorot matanya memancarkan aura tak terbaca.

“Pak Karan ada di ruang direktur. Kemarin saya tidak berani untuk menanyainya banyak hal, sebab kemarin bukanlah situasi yang tepat, juga saya mengingat jika sekarang anda akan berkunjung ke sini. Jadi lebih baik saya tanyakan langsung kepada anda. Maaf jika saya ikut campur urusan keluarga anda.”

Dengan perasaan yang sulit dijelaskan Alex berdiri, “tidak masalah, saya pergi, permisi.”

Rencana awal untuk segera pulang dan istirahat leyap begitu saja setelah mendengar fakta bahwa Karan ada di perusaan ini. Ia ingin segera menemuinya, bertanya kemana saja selama berbulan-bulan menghilang hingga membuat dirinyalah yang harus menggantikan posisinya. Ia sudah menolak mentah-mentah untuk mengantikan, namun mamanya adalah perempuan yang tak suka dibantah.

Alex berjalan tergesa-gesa menuju ruangan yang ingin ia datangi. Namun langkahnya seketika terhenti saat melihat seorang pria jakung yang ingin ia temui baru saja keluar dari ruangan itu. Mereka bersitatap beberapa saat, terlihat kakaknya yang seolah keheranan. Namun setelahnya Alex melihat Karan yang berjalan lawan arah darinya, ia semakin bingung. Apakah Karan sedang tak ingin bicara padanya.

“Tunggu!”

Swara menghentikan langkahnya lantas berbalik. Ia menaikkan sebelah alisnya melihat pria yang memanggilnya tadi berjalan mendekat. Swara tak tahu siapa orang asing yang yang memanggilnya barusan, akan tetapi ia bisa melihat sorot mata dalam saat pria itu menatap ke arahnya. “Ya?”

Swara terkejut saat tiba-tiba tangan pria asing itu memeluknya begitu erat. Kepalanya berkata untuk segera menepis pelukan menjijikkan ini dari badannya, namun tubuhnya seolah tak ingin mengikuti bisikkan itu. Ia hanya diam mematung, pun tak membalas pelukan itu.

“Ada aku kak. Papa tidak akan suka melihatmu yang seolah melupakan semua masalah lantas menjadi orang yang mati rasa sehingga merasa baik-baik saja. Aku lebih suka kau yang sering memarahiku dari pada pura-pura tidak mengenaliku. Pulanglah … Aku mohon ….” Bisikkan itu seolah membuat tubuh dan perasaannya bereaksi. Pikirannya kosong sampai pelukan itu terlepas.

“Mama berkata jika kau sedang ingin sendiri, maka dari itu aku tidak berusaha mencarimu atau pun melaporkan polisi saat berbulan-bulan kau tidak pulang.” Alex menatap kekosongan dalam sorot mata kakaknya. “Cepat kemasi barang-barangmu lalu kembali kerumah. Aku ingin malam ini sudah melihatmu berada di rumah. Itu perintah.” Alex menepuk pundaknya, lalu berbalik pergi.

“Tunggu!” Suara baritone itu membuat Alex kembali berbalik sambil tersenyum simpul, “Ya?”

“Siapa kau?”

Senyumnya pudar, ia mematung beberapa saat. Lalu tersenyum sinis, “sudahlah, aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni permainanmu. Sekarang segeralah berkemas dan pulang.”

“Permainan?”

“Ya.” Senyum sinisnya tak pudar, ia sudah hafal dengan sifat kakaknya yang selalu pura-pura lupa tentangnya jika mereka sedang ada masalah. Dan itu sukses membuatnya menjauh beberapa hari, namun kali ini itu tidak akan berhasil.

“Kau salah orang. Aku tidak merasa mengenalimu.” Sorot mata tajam itu seolah menelisiknya dalam diam.

“Kak, ini tidak lucu.” Tekannya. "Namamu Karan, bukan?"

“Kau salah orang.” Setelah mengatakan itu ia meninggalkan Alex yang diam mematung sendirian.

Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang