Chapter 32

541 50 2
                                    

Di sinilah sekarang mereka berdua. Di sebuah kafe yang berjarak hampir 3 kilo meter dari kontrakan Mia. Sebuah kafe dengan desain minimalis namun mewah, dengan warna abu-abu yang mendominasi. Pengunjung hari ini nampak sepi, sebab ini masih jam kerja.

"Aku senang karena kamu mau kuajak keluar." Alana berkata sepenuh hati.

"Mungkin kita memang perlu bicara." Ia tersenyum menanggapi. Senyum yang bagi Kalinda sangat mempesona.

"Ya. Kamu benar, ada banyak hal yang harus dibicarakan. Bahkan aku bingung mulai dari mana. Karan pasti sudah memberitahu kamu hubungan kami dan alasan dibaliknya."

"Iya, kalian menikah hanya demi perusahaan. Itu yang dikatakan Mas Swara."

Sejenak Kalinda memperhatikan keterdiaman perempuan yang ada di hadapannya ini.

"Sebenarnya, bukan hanya tentang perusahaan." Kedua alisnya terangkat mendengar ucapan Alana.

"Kami sudah bertunangan sejak lama." Kalinda melotot tak percaya.

"Tanggal pernikahan bahkan sudah ditentukan, akan tetapi semua kacau saat dia menghilang beberapa bulan dan kembali dalam keadaan hilang ingatan."

Ia hanya terdiam. Lalu Alana kembali melanjutkan bicaranya.

"Kita sama-sama perempuan, kuharap kamu mengerti bagaimana posisiku sekarang."

Hatinya seolah dihujani duri-duri, terasa menyakitkan di setiap tarikan napas. "Tapi kenapa kamu tidak langsung mengatakan yang sebenarnya saat pertama kali kita bertemu?" Ujarnya datar, antara kecewa dan tak percaya. Satu lagi fakta yang semakin menyudutkan kehadirannya. Pikirannya seketika terpecah.

"Itu tidak mungkin. Aku masih memikirkan keadaan Karan."

Suasa seketika menjadi dingin di antara keduanya. Beberapa saat kemudian pesanan yang mereka pesan datang.

"Jangan terlalu dipikirkan, aku hanya ingin mengatakan semuanya padamu, agar kamu tau di mana posisi kita masing-masing."

Ia memegang ujung baju yang ia pakai dengan erat. Matanya memandang Alana yang tengah meminum kopinya, mengapa ia justru merasa dirinyalah yang menjadi orang ketiga di sini. Terlalu egoiskah jika ia tidak mau pergi walaupun sudah tau keberannya? Tapi bukankah ia juga merasa tak pantas berada di samping Swara. Mengapa ia jadi perempuan bodoh seperti saat ini.

Hidupnya memang akan kacau jika pergi dari Swara. Kakeknya menitipkan dirinya kepada Swara agar pria itu selalu menjaganya, namun sepertinya kakek salah menyuruh orang, sebab kenyataan terus saja memaksa mereka untuk berpisah.

"Alex juga menjelaskan kepadaku siapa yang membuat kekacauan ini." Kalinda berkata tanpa menatap ke arahnya, "bukankah itu orang tuamu?" Kali ini matanya menatap tajam ke arah Alana.

Wajahnya nampak tenang mendengar tuduhan Kalinda, mau bagaimana lagi, itu memang benar. Seolah ia sudah menduga Kalinda akan mengatakan itu kepadanya. "Ya. Lalu apa hubungannya denganku?"

"Kamu anaknya. Apa kalian sudah merencanakan ini semua, hm?"

Alana terkekeh pelan mendengar tuduhan itu. "Dengarkan aku. Di sini aku hanya ingin menyadarkanmu bahwa di sini kamulah yang seharusnya pergi. Mengapa kamu tidak sadar juga? Aku sudah berusaha baik padamu, tapi sepertinya kebaikanku itu sia-sia. Sebab kamu memang gadis desa yang tak punya etika dan egois."

Jantungnya berpacu dengan cepat, tangannya mengepal kuat. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Namun ia berusaha semaksimal mungkin untuk terlihat biasa, walaupun hatinya tertekan luar biasa mendengar perkataan Alana. "Jika benar aku tak punya etika. Mungkin sudah sejak awal aku akan menjauhkan dirinya kepada keluarganya. Itu sangat mudah jika kulakukan, melihat Mas Swara yang hanya mengenal dan mengingatku. Tapi nyatanya, aku tidak menjauhkan dirinya, aku bahkan rela tinggal di rumahnya agar ingatannya bisa kembali." Nadanya mulai merendah, bibirnya bergetar mengatakan apa yang ingin hatinya teriakkan.

"Dan ya, jika aku memang egois ... Sejak awal akan aku ceritakan pada semua orang bahwa aku istri dari pemilik perusahan yang terkenal. Aku tidak perlu susah-susah bekerja menjadi tukang bersih-bersih di sana. Dengan begitu semua orang akan menghormati ku. Bukankah itu sangat mudah kulakukan jika aku memang mau? Jika aku egois pun, aku bisa meminta Mas Swara untuk meninggalkan semua ini dan memulai hidup seperti sebelumnya. Apa pernah kamu pikirkan itu semua, hm?"

Entah sejak kapan air matanya menetes dan membasahi pipi. Hatinya terasa kosong setelah mengatakan itu semua. Rasanya saat ini juga ia ingin menghilang begitu saja.

Ia mengusap air matanya kasar. Alana terdiam setelah mendengar penjelasan panjang lebar yang Kalinda katakan. Ia berpikir mungkin Alana sudah mengerti bagaimana posisinya sekarang. Bahwa ia juga bisa menyuruh Alana untuk pergi dari kehidupan Swara. Namun perkataan berikutnya membuat Kalinda benar-benah hilang akal.

"Jika kamu tidak egois, saat ini juga kamu pergi setelah mendengar kebenaran yang aku katakan tadi. Bagaimana pun juga, kamu yang datang di antara kita berdua, dulu kami adalah pasangan yang saling cinta, dan aku yakin sekarang pun masih tetap sama."

Kalinda tersenyum remeh, "jika memang kalian saling cinta, mengapa tidak langsung saja ke Mas Swara untuk suruh dia ceraikan aku?"

Kali ini Alana yang terpancing dengan umpannya sendiri, ia menatap Kalinda nyalang, seolah mengibarkan bendera permusuhan secara terang-terangan. Ia yang semula menganggap mudah untuk menyuruh Kalinda mundur nyatanya tak semudah itu. Perempuan di depannya ini tidak sepolos yang dia kira. Kini, segala ramah tamah-nya tak akan mempan ia gunakan.

"Dasar perempuan tidak tau diri! Lihat saja nanti, kita buktikan siapa yang akan bertahan di samping Karan." Setelah mengatakan itu ia berdiri, sebelum pergi ia kembali berkata.

"Dan satu lagi, jika kamu benar-benar tulus ingin Karan kembali mengingat masa lalunya, seharusnya kamu memanggil nama aslinya, buka nama pemberianmu sendiri!"

Setelah puas mengatakan itu ia pergi begitu saja meninggalkan Kalinda sendirian.

Kalinda terdiam, tubuhnya terasa kaku. Pandangannya menatap kosong ke depan, ia memikirkan perkataan Alana tadi yang memenuhi pikirannya.

Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang