Chapter 31

572 41 3
                                    


Terimakasih buat kalian yang sudah membaca cerita ini. Kalau boleh tau kalian tau cerita ini dari mana?


___

Author POV


"Kamu 'kan? Yang kasih tahu Mas Swara kalau aku di sini?"

Mia yang baru pulang dan tak tau menahu apa yang dibicarakannya hanya terdiam. Dahinya mengerut, "enak saja. Seharian ini aku tidak bertemu dengan pak Karan sama sekali ya!" Nadanya sedikit meninggi, tak terima mendapat tuduhan yang tidak ia lakukan.

Kalinda memicingkan matanya, menelisik mimik wajah Mia untuk beberapa saat. Barangkali ia hanya sedang menghindar dari tuduhan. Adegan saling tatap itu berakhir saat salah satu dari mereka memilih untuk pergi. Mia meninggalkannya sendiri. Ia butuh mandi. Dan juga butuh nutrisi untuk mengisi perutnya yang sedari tadi meminta untuk diisi. Ia berharap semoga Kalinda sadar diri untuk memasak makan malam, hitung-hitung sebagai balas Budi karena sudah mengizinkannya menginap di sini.

Mata Kalinda terus memperhatikan punggung Mia yang semakin menjauh. Apakah pria itu yang mencari tahu sendiri? Satu helaan napas keluar dari hidungnya. Kemudian ia berjalan ke dapur untuk mengambil teh hangat yang tadi sudah ia buat, lalu duduk di meja makan. Di atas meja terlihat makanan yang sudah hampir dingin, ia sendiri yang memasaknya tadi.

Dengan pelan, ia meminum teh tawar buatannya. Sensasi hangat langsung memenuhi rongga tenggorakan, terasa nikmat dan menyejukkan.

Selera bagi dirinya akan selalu berubah-ubah, hari ini ia bisa menikmati teh tawar di malam hari, namun bisa jadi ia sama sekali tak menyukainya di lain hari. Itu cukup sering terjadi baginya, seperti ucapan manusia yang bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu. Tak akan bisa disimpulkan kebenarannya selagi momentumnya belum terlaksana.

Mungkin juga seperti perlakuan Swara kepadanya. Terkadang bisa manis juga bisa tawar, bahkan juga bisa jadi pahit. Selalu berubah-ubah.

Ah, mengapa ia malah memikirkan pria itu. Setelah apa yang dilakukannya pagi tadi membuat wajahnya terus terngiang-ngiang di kepalanya. Menjengkelkan sekali.

Namun saat mengingat percakapan mereka tadi haruskah ia kembali ke rumah itu dan mempercayakan semuanya pada Swara. Memangnya adakah perempuan yang mau menikah kontrak dalam satu tahun tanpa tujuan apa-apa selain hanya membantu orang yang dinikahinya. Sebagai seorang perempuan Kalinda takkan pernah bisa dan mau melakukan itu. Lantas apa yang membuat Alana mau melakukannya demi Swara?

Apakah mungkin dia menyukainya?

Kalinda menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin." Ucapnya pada diri sendiri.

Mungkin saja. Hatinya seolah ikut mengkompori.

Tak terasa beberapa menit berlalu hanya dengan lamunan yang Kalinda lakukan. Mia keluar dengan tubuh yang sudah segar dan pergi ke meja makan. Senyumnya tersungging saat melihat Kalinda duduk di sana ditemani dengan masakan yang sudah siap di makan.

"Wih, masak apa?" Pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Ia menatap Kalinda yang menatap kosong ke depan.

"Kalindaa!"

"Eh iya??"

"Ck, lagi ngapain, sih?"

"Nggak ngapa-ngapain."

Mia menarik napas panjang, dari pada mendebatkan hal tidak penting lebih baik ia fokus pada makanan yang sudah memohon untuk segera dihabiskan.

Kalian tenang saja, semua akan aku makan. Ucap Mia dalam hati pada nasi dan ikan gurami yang sudah rela mengorbankan diri.

****


Rutinitas pagi seperti biasa. Kalinda yang masih tidak ingin bekerja hanya akan diam sendiri di rumah. Ia hanya sibuk memperhatikan Mia yang terburu-buru karena bangun kesiangan. Di depan kaca ia memoles bibirnya dengan indah, meskipun kesiangan dandan sebelum berangkat adalah hal paling penting menurutnya, jadi tidak boleh dilewatkan.

"Ini gara-gara semalaman aku tidak bisa tidur." Gerutunya entah pada siapa. Mungkin barangkali pada Kalinda.

"Kenapa tidak bisa tidur? Semalam aku tidur nyenyak sekali."

"Kebanyakan makan, perutku rasanya sakit sampai-sampai susah tidur." Ucapnya sembari menyisir rambut dengan tergesa-gesa. Sedangkan Kalinda tertawa ringan mendengarnya, bagaimana tidak kekenyangan, dia makan seperti orang yang belum makan selama sebulan.

"Selesai. Aku berangkat dulu ya, jaga rumah, jangan keluyuran." Ia berdiri lalu mengambil tasnya, "dan ya! Jika pak Karan datang lagi jangan buka pintu sebelum aku datang."

"Kenapa?"

"Ya karena aku juga ingin bertemu sama dia, hahaha." Ia segera berjalan pergi setelah mengatakan itu. Meninggalkan Mia dengan keadaan geleng-geleng kepala. Untung dia baik karena mengizinkan ia tinggal di sini dan sekamar, kalau tidak mungkin mereka bisa bermusuhan.

Setelah kepergian Mia yang bisa Kalinda lakukan adalah membersihkan rumah. Mulai dari mengapu, mengepel, mencuci piring, hingga membersihkan kamar. Semua ia lakukan sekaligus.

Setelah sekitar satu jam, semua pekerjaan rumah akhirnya selesai.

Lelah. Itu yang Kalinda rasakan sekarang. Ia memilih pergi ke sofa yang tersedia di ruang tamu. Lalu menidurkan tubuhnya di sana. Rasanya nyaman. Hingga tanpa terasa kesadarannya mulai pergi secara perlahan. Lalu akhirnya hilang, dia tertidur dalam keadaan kelelahan. Dengan posisi miring ke kanan dan menindih tangan kanannya. Sesekali terlihat mimik wajahnya yang berubah dalam tidurnya. Entah apa yang sedang dia mimpikan, namun sepertinya bukan mimpi indah.

Satu jam kemudian dia terbangun. Melirik ke arah jam yang mengarah pada angka 10. Masih pagi, ia kembali melanjutkan tidurnya.

Tok ... Tok ... Tok .....

Kalinda langsung membuka mata dan bangun ketika mendengar suara ketukan pintu dari luar. Ia diam sebentar sebelum membuka pintu, barangkali yang di luar itu Swara yang kembali datang. Ia pergi mengintip gorden untuk memastikan.

Seketika matanya melebar melihat siapa yang datang. Itu Alana. Berdiri di depan pintu dengan kacamata hitam yang bertengger rapi dimatanya. Dalam hati Kalinda bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya di sini.

Bagaimana bisa dia sampai di sini. Siapa yang memberitahunya? Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasa. Antara terkejut dan marah, Kalinda bingung harus menemuinya atau tidak. Hingga terdengar suara ketukan pintu yang kedua kalinya. Saat itulah ia menarik napas panjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Lalu membuka pintu diiringi dengan raut wajah yang tak bisa didefinisikan.

Alana segera menoleh saat mendengar pintu terbuka. Setelah terbuka ia melihat Kalinda yang menatapnya dengan tatapan tak biasa, lantas ia hanya menanggapi dengan senyuman manisnya.

"Pagi." Sapanya basa-basi. Kalinda sedikit terkejut karena kata itu yang pertama kali ia dengar. Mimik wajahnya nampak biasa, seperti tidak terjadi apa-apa. Bagaimana bisa dia setenang itu setelah menikahi suami wanita lain, apakah tidak ada rasa bersalah padanya?

Entah harus bereaksi seperti apa. Kalinda hanya diam menanggapinya.

"Ada yang ingin aku bicarakan. Kalau ada waktu aku ingin kita keluar sebentar." Pintanya dengan sopan. Sangat mencerminkan perempuan yang berpendidikan.

Mendengar permintaan itu perasaan aneh menjalar dalam hatinya. Perasaan yang membuat Kalinda tak nyaman, perasaan yang membisikkan pertanyaan.

Apa aku lebih pantas darinya?

Pertanyaan itu timbul kembali setelah sekian lama tenggelam. Kalinda merasa bahwa dirinya tak jauh lebih baik jika disandingkan dengan Alana. Bagaimana jika Swara akan jauh lebih bahagia nantinya jika terus bersama dengan Alana? Sebab selama ini dia merasa jika bersamanya kehidupan mereka akan terus dilanda masalah.

Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang