Sudah hampir satu jam semenjak aku keluar bersama Alana. Rasa pegal di pergelangan kaki sebab terus berjalan mengelilingi mall yang besar ini membuatku ingin segera pulang. Namun di sana, Alana masih nampak semangat dengan mencoba beberapa dress mahal. Bolak-balik ia berjalan di depanku hanya untuk sekedar menanyai apakah dress yang ia pakai cocok di tubuhnya, dan aku akan selalu menjawab 'sangat cocok' setiap ia bertanya. Bukan sekedar membual, tapi memang setiap apapun yang ia pakai akan terlihat pas di badannya. Itulah keuntungan wanita cantik, cocok dengan semua pakaian."Apa sudah selesai?" tanyaku saat melihatnya datang mendekat.
"Sudah. Kupilih pakaian yang aku coba pertama, kurasa itu akan sempurna saat kupakai nanti."
Benarkah? jika pakaian pertama yang di suka mengapa harus mencoba pakaian setelahnya? Aku menghela napas pasrah.
"Selanjutnya kita ke mana?"
Seharusnya tak kutanyakan pertanyaan itu, ia nampak diam menatapku. "Kamu nggak beli dress juga? Mumpung kita ada di sini."
"Oh nggak usah."
Alana mengangguk, "ada tempat yang ingin aku datangi, kamu mungkin juga akan suka."
Setelah tersenyum saat mengatakan itu ia berjalan pergi, aku hanya bisa menghela napas untuk kesekian kali lalu mengikutinya.
Entah ia akan pergi ke mana, namun kali ini tidak di dalam mall. Beberapa menit mobil melaju di jalan raya, lalu berhenti di depan sebuah toko yang terpajang beberapa baju pengantin di sana. Apakah Alana akan segera menikah, atau dia hanya mengambil pesanan saudaranya? Aku hendak bertanya, namun ia lebih dulu menjelaskan.
"Aku ingin mengambil pesanan beberapa bulan lalu. Ayo."
Tak ada yang ingin kuucapkan, kuikuti ia dari belakang lalu masuk ke dalam butik mewah ini. Kemudian saat sampai di dalam, seolah aku masuk dalam dunia hayalan. Ada gaun pengantin yang begitu indah di sana, berwarna putih dengan kristal bening yang menutupi di hampir seluruh ruangnya. Lampu-lampu yang ada di atasnya membuat gaun itu berkilau karena pantulan cahaya. Hingga tak sadar aku melangkah mendekatinya, kuamati gaun itu dari atas hingga bawah. Aku berdecak kagum, begitu indah.
"Cantik bukan?"
Aku tersentak, kepalaku menoleh ke samping, kulihat Alana yang juga tengah memperhatikan hal yang sama. "Iya, sangat indah."
"Beberapa bulan yang lalu juga aku begitu kagum dengan gaun ini, tapi itu sebelum aku tau kalau gaun ini hanya dijadikan pajangan dan tidak untuk dijual."
"Tinggal minta desain seperti ini, kan?"
Ia tersenyum, "kata pemilik butik ini gaun pengantin itu tidak akan dibuat ulang dan di jual. Itu perjanjian dengan customer mereka, sebelum sang pengantin meninggal karena kecelakaan dan gaun ini tidak jadi dipakai."
Aku terkejut, kisah dibaliknya tidak seindah butiran kristal yang terpajang di dirinya.
"Sudahlah, ayo kutunjukkan gaunku."
Aku memicingkan mata, "kamu mau menikah?"
"Ya. Maksudku, tadinya iya."
"Kenapa?"
Untuk sejenak Alana terdiam, kemudian ia menatap mataku dengan sorot yang tak terdefinisikan, "ada perempuan lain yang merebutnya, mereka sudah menikah."
Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku, entah hari ini hari apa, rasanya aku sudah sering merasa terkejut. Entah kejutan apa lagi nanti.
"Lupakan. Aku yakin mereka sebentar lagi akan segera berpisah, karena memang dia tidak mencintai perempuan itu." Kurasakan nada kesungguhan dalam ucapannya. Namun entah mengapa seketika sikapnya juga berubah, tatapan matanya berubah. Atau mungkin itu hanya reaksinya saja karena kembali mengingat pernikahnnya yang gagal. Sungguh aku turut kasihan atas keadaannya.
"Kamu tau Kalinda, terkadang kita perlu merendah agar bisa mencapai sesuatu yang kita inginkan, meskipun merendah untuk melakukan hal yang paling tidak ingin kita lakukan."
Aku kikuk, tak tau harus mengatakan apa selain mendengarkannya bicara. Aku bisa mengerti bagaimana keadaannya sekarang, bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang kita sayang.
"Sabar, jika memang berjodoh kalian pasti akan bersama." Kuhiburnya dengan kata-kata itu.
Alana tersenyum, "ya, aku yakin dia juga akan kembali padaku."
Kugenggam tangannya untuk sekedar menguatkan, lalu beberapa detik kemudian kudengar ponsel yang berbunyi. Di layar tertera nama Swara yang menghubungi. "Aku angkat dulu ya." Ia mengangguk, kemudian aku menjauh.
"Hallo, mas."
"Kamu dimana?" suara dingin khasnya terdengar dari seberang sana.
"Aku lagi di butik sama Alana, dia mau ambil pesanannya."
Tak kudengar balasan beberasa saat, kulihat layar ponsel yang masih terhubung. "Hallo?"
"Pulang sekarang! Supir datang beberapa menit lagi."
"Loh, mas. Nggak bisa gitu, aku nggak bisa ninggalin Alana gitu aja." Tolakku.
"Aku bilang pulang, Kalinda!"
Tuttt.... Panggilan terputus. Entah ada apa dengannya, emosinya bisa berubah-ubah setiap waktu. Bahkan aku sendiri juga bingung dengan itu.
"Ada apa?" Aku menoleh ke belakang.
Untuk sejenak aku terdiam, berusaha menyusun kalimat yang pas untuk mengatakan bahwa aku harus pulang karena Swara menyuruhnya. Mulutku baru saja terbuka. "Kamu pulang aja, aku nggak apa-apa kok." Ucapnya mengerti dengan apa yang ingin aku katakan.
"Beneran?"
"Iya, setelah ini juga aku ada janji. Makasih untuk hari ini ...."
Aku mengangguk lalu tersenyum. Beberapa menit kemudian, supir yang ditunggu benar-benar datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas (End)
ChickLitSebuah pernikahan yang tak pernah terbayangkan. Membuat Kalinda harus menghadapi semuanya dengan tegar. Ia tak menyangka, menikah dengan pria yang asal usulnya tak ia ketahui membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Apalagi ketika sat...