Chapter 5

642 54 2
                                    

Aku hanya bisa berpura-pura

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku hanya bisa berpura-pura. Saat semua pasang mata memperhatikan.

___


“Nih, aku cuma punya satu. Itupun aku jepret diam-diam pas foto pak Karan masih di pajang di dinding perusahaan.” Mia menyerahkan ponselnya yang menampilkan sosok pria dengan menggunakan setelan jas berwarna navy.

Kalinda mengangguk, kemudian ia menerima uluran tangan Mia. Ia menatap gambar itu dalam diam, mencoba mencerna segala opini yang muncul dalam kepalanya. Sebenarnya tak ada yang membingungkan, pun gambar di ponsel Mia. Sebab bagi Kalinda sudah sangat jelas, bahwa putra sulung pemilik perusahaan yang selama ini hilang telah bersamanya berbulan-bulan.

Sudah terpampang jelas di layar ponsel yang menyala, ini adalah wajah Swara. Terlihat begitu tampan dengan jas rapi dan kemeja yang melengkapi.

Kalinda merasa aneh dengan dirinya. Kenapa rasanya malah menyakitkan, bukankah seharusnya ia harus bahagia karena telah menemukan identitas asli Swara. Selama ini dia hidup dengan nama yang kakeknya berikan, lalu sekarang?  ia bisa hidup dengan identitas aslinya. Membayangkannya saja membuat dada Kalinda semakin sesak.

Apakah Swara akan meninggalkannya begitu saja saat tau semuanya, apakah Swara akan membuangnya setelah tau dirinya tak pantas menjadi pendamping hidupnya. Sungguh, kenapa takdir seolah mempermainkan hidupnya.

Kalinda memejamkan mata, sedang air mata yang menggenang kini meluncur begitu saja. Dan itu semua tak luput dari pandangan Mia.
“Kamu menangis?” tanyanya dengan nada khawatir sekaligus tak mengerti.

Kalinda yang baru sadar bahwa masih ada Mia di hapannya kini mengusap pipinya dengan kasar, “siapa yang nangis? Aku cuma kelilipan tadi. Duh, kotoran apa sih, kok perih banget di mata.” Tangannya mengucek-ngucek matanya sendiri yang tak merasakan apa-apa.

Mia terus memperhatikan gerak-gerik Kalinda, “kamu bohong?” tanyanya yang membuat Kalinda menghentikan aktifitasnya.

Kini, suasana menjadi hening di antara keduanya. Mia yang hanya diam menunggu reaksi Kalinda, sedangkan Kalinda yang sudah tidak tahan menyembunyikan air matanya. Hingga ia terisak pelan. Ya, tadi ia memang menangis. Tapi ia tak ingin mengatakan alasannya, ia tak ingin siapapun tau dengan situasinya saat ini.

“Eh, kenapa? Kamu kenal sama pak Karan?” Mia nampak kebingungan. Namun Kalinda tak berkata apa-apa beberapa saat hingga isakannya mulai menghilang.

“Enggak, aku nggak kenal. Makasih ya,” ia menyerahkan ponsel yang ia pegang, lalu berjalan meninggalkan Mia begitu saja seolah tak ada sesuatu yang perlu dijelaskan pada orang yang telah melihat tangisannya barusan.

***


“Kamu sakit?”

Kalinda menggeleng lantas tersenyum simpul, “tapi muka kamu pucat gitu, belum makan siang?”

“Udah kok, mas … Ini cuma sedikit pusing gara-gara kena AC terus, maklum belum terbiasa, hehe.”

Adi mengangguk tanpa mau bertanya lebih jauh lagi, “terus kamu masih kuat angkat barang-barang ini ke dalam?” Kalinda mengangguk dengan yakin. Setelah itu Aji pergi karena ia juga sedang ada pekerjaan lain. Namun sebelum pergi ia berkata bahwa tidak perlu memaksa jika memang Kalinda tidak kuat memindahkan semua barang-barang ini, dan Kalinda hanya mengangguk paham.

Ia tak tau apa yang berada di dalam isi kotak yang lumayan besar ini, namun saat ia mengangkatnya, rasanya lebih berat dari yang ia kira. Mungkin tadi seharusnya Kalinda tidak mengiyakan untuk sanggup mengangkat barang-barang ini, pasalnya ada beberapa kotak lagi yang harus ia pindahkan. Tapi sudahlah, ia sendiri yang memilih, pun harus bisa menjalani.

Sudah hampir setengah jam, Kalinda menghela napas saat melihat tinggal satu kali lagi barang yang harus ia pindahkan. Lalu ia mengangkatnya dengan sisa-sisa tenaga yang tersisa, keringat sudah memenuhi setiap sudut dahinya, ia bahkan bisa merasakan bahwa bajunya sedikit basah karena keringat. Lalu tanpa sengaja ia menabarak punggung seseorang.

“Maaf pak, maaf. Saya nggak sengaja.” Alex berbalik, ia melihat perempuan yang sudah terlihat sangat lelah sedang meminta maaf karena tak sengata menabraknya.

“Hem, ya gapapa.”

“Kalau begitu saya permisi pak, sekali lagi maaf,” Kalinda kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Tunggu!”

Ia berbalik, “iya, pak. Ada yang perlu saya bantu?” Kalinda menyerngit bingung saat mendapati Alex yang hanya diam sambil menatap lurus ke arahnya. Apa ada yang salah dengan ucapannya barusan? Ia rasa tidak.

Lalu kenapa atasan di hadapannya ini tak kunjung bicara, dan sialnya Kalinda merasa ingusnya ingin keluar, mana bisa ia mengeluarkannya sekarang di hadapan Alex, bisa-bisa dinilai perempuan yang tidak sopan dan menjijikkan. Hingga akhirnya ia menyedot kembali cairan yang ada di hidungnya, ini begitu menjijikkan.

“JANGAN!!! Apa yang kamu lakukan?!” Kalinda terkejut melihat respon Alex.

“Ke-kenapa pak?”

“ADI!” Bukannya menjawab pertanyaannya Alex malah memanggil orang lain. Lalu secepat kilat orang yang dipanggil pun datang dengan napas yang ngos-ngosan. “Iya pak?”

“Bagaimana kamu bisa membuatnya sampai seperti ini, hah?! Cepat suruh dia ke rumah sakit!” Adi mengikuti arah tunjuk Alex yang mengarah tepat pada Kalinda. Sedangkan Kalinda hanya menatapnya dengan wajah bersalah sekaligus bingung. Hingga ia sadari, cairan merah pekat sedang mengintip di balik hidup mungil perempuan itu.

“Astaghfirullah, kenapa kamu maksa angkat semua barang-barangnya, Kalinda? Kamu bisa tinggalin kalau kamu sakit, nggak usah di paksa.”
Kalinda bertambah bingung, tidakkah ada yang mau menjelaskan sebenarnya ada apa? Bahkan sejak tadi ia menahan ingusnya yang memberontak ingin keluar.

Karena tidak tahan lagi, tangannya bergerak menyeka dengan kasar  area hidung. Hingga akhirnya ia bisa melihat cairan merah yang sekarang ada di telapak tangannya. Lalu Kalinda sadar, ternyata karena ini.

Ia tersenyum kikuk saat kedua orang di hadapannya menatap dirinya tajam, “hehe, aku nggak tau. Maaf ya, aku nggak apa-apa kok … Mas Adi, titip barangnya ya, tinggal satu, aku taruh di sini. Mari pak, permisi,” setelah mengatakan itu Kalinda pergi dengan tergesa-gesa, dan tak lupa ia memegangi lubang hidungnya.

“Siapa namanya?”

Adi mengalihkan atensinya, “Kalinda, pak. Dia pegawai baru.”

***

Setelah kejadian itu Kalinda dipaksa untuk pulang dan istirahat, terutama Adi yang terus memojokkannya dengan tidak boleh memberinya pekerjaan apa-apa saat Kalinda menolak untuk pulang. Dalam hati Kalinda memang senang diperlakukan seperti itu, seolah semua orang peduli dengan kesehatannya. Namun ia tidak ingin segera pulang.

Sebab di rumah tak menjamin baginya bisa istirahat dengan tenang.
“Kamu disuruh pulang nggak mau, kalau aku yang sakit sudah pasti langsung pulang sebelum orang lain suruh. Lumayan, kesempatan yang tidak boleh di sia-siakan untuk bermalas-malasan di dalam rumah.” Ucap Mia dengan muka datarnya.

“Itu kan, kamu. Jadi pasti beda.”

Mia menghela napas, “ya ya ya, aku memang beda sama kamu. Kamu cantik, aku lebih cantik, kamu tinggi, aku juga tinggi. Iya, kan?”

Entah itu benar atau tidak, tapi perkataan Mia mampu mengundang tawa renyah di bibir munyilnya, “Mungkin.”

Keduanya tertawa bersama setelahnya, hingga mengundang tanya bagi orang-orang yang melewati mereka. Lalu Mia menghentikannya, lantas menatap Kalinda yang masih berusaha mereda tawanya, membuat Mia seketika teringat kejadian berjam-jam lalu saat Kalinda terisak melihat foto yang ia tunjukkan.

Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang