Chapter 27

491 50 1
                                    


Terasa berat, mataku terbuka perlahan. Semuanya masih buram, kepalaku terasa sakit. Di mana aku?

Kurasakan tangan seseorang yang memegang punggungku saat aku hendak duduk. Dan ternyata itu adalah Swara, ia menatapku dengan pandangan lembutnya, membuatku seketika teringat bagaimana aku bisa jatuh pingsan. Kuharap apa yang dikatan Mia hanyalah berita hoax yang disebarkan oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab. Lagi pula mana mungkin Swara menikah dengan Alana, bukankah mereka hanya teman lama. Alana juga mengetahui tentang hubunganku dengan Swara, jadi tak mungkin jika dia melakukan itu semua.

Lamunanku buyar saat telapak tangan kokoh itu memegang tanganku dengan pelan. Kutatap ia sekilas, lalu pandangku berpindah menatap sekeliling ruangan. Ini adalah ruangan Swara. Jadi bisa disimpulkan jika sejak tadi aku tak sadarkan diri di dalam ruangan ini. Tapi, bagaimana bisa? Apa yang akan dipikirkan oleh orang lain tentang Swara yang membawaku ke ruangannya?

"Bicaralah ...." Tatapan matanya seolah menembus hingga ke kalbu.

"Bagaimana bisa aku ada di sini?"

"Aku yang membawamu."

Aku terkejut, "di depan semua orang?" Swara mengangguk.

"Bagaimana jika mereka berpikir yang tidak-tidak?" Tanyaku khawatir, bagaimana pun aku masih menginginkan pekerjaan ini.

Sejenak ia terdiam, seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Besok aku akan mengatakan pada seluruh karyawan perusahaan kalau kamu adalah istriku."

"Jangan!" Mataku melebar, sungguh aku tidak terima dengan apa yang akan dia lakukan.

"Aku tidak minta pendapatmu."

"Tapi kenapa tiba-tiba, mas?" Ia memalingkan muka, "karena itu yang terbaik untuk situasi saat ini."

"Situasi apa?" Kulihat tubuhnya menegang mendengar pertanyaanku. Ia terdiam, lalu berdiri, seolah tengah menghindar dari sesuatu. Seketika perasaanku tidak enak, perkataan Mia kembali berputar di dalam benakku. Yang kucoba lupakan, namun semakin berteriak ingin jawaban.

"Mas ..." Ia tak bergeming, masih terdiam memunggungi ku. "Katakan jika berita yang aku dengar tadi salah, bahwa kamu menikah dengan Alana."

Entah dorongan dari mana aku berani menanyakan itu sekarang. Namun melihat reaksinya yang hanya diam saja membuatku semakin berdetak tak karuan. Setidaknya aku ingin mendengar jawaban bahwa berita itu memang salah, bahwa dia tidak pernah menikah dengan perempuan lain. Bahwa aku masih menjadi satu-satunya istri yang dia miliki.

Tubuhku kembali lemas, "jawab, mas .... Kamu hanya perlu menjawab 'tidak benar'. Aku tau bahwa berita itu salah, kumohon katakan bahwa itu memang salah."

"Mas!!" Teriakku saat ia masih diam. Kemudian ia berbalik, menatap mataku dalam. Dan aku tak bisa lagi menahan air mata saat melihat sorot mata itu yang berkaca. Kugigit bibirku dari dalam, berusaha menahan agar suara tangisan tak keluar dengan kencang. Apakah arti dari semua ini? Apa yang sudah terjadi? Dan apa yang disembunyikan di belakangku kali ini? Aku benar-benar menginginkan jawaban. Kesunyian ini membuat hatiku bertambah hancur setiap detiknya.

"Aku ingin dengar, semuanya." Ucapku berusaha tegar, dan kuyakin ia mengerti apa yang aku maksudkan.

Ia mendekat, lalu duduk bersimpuh di hadapanku. Aku memalingkan muka, sungguh, aku tak suka dengan perlakuannya kali ini.

"Maaf ...." Hanya satu kata itu yang ia katakan. Sedangkan aku hanya diam menunggu kalimat apa yang akan ia ucapkan.

"Semua yang kamu dengar tadi itu benar. Aku telah menikahi Alana, namun hanya pernikahan sirih, dan bagiku itu hanya untuk kelangsungan perusahaan. Ada masalah yang membuatku terpaksa menikah dengannya, sebab orang tuanya sudah menjebakku."

Air mataku terus mangalir, alsannya itu tidak merubah fakta bahwa benar mereka memang sudah menikah. Aku seolah kehabisan kata-kata. Lantas sekarang posisiku ada di bagian mana?

"Kumohon bicaralah ...." Ucapnya saat aku hanya diam. Rasanya aku ingin tertawa. Bicara. Bisakah fakta berubah saat aku bicara?

"Itu keputusanmu. Kurasa pendapatku tidak akan penting bagimu. Bukan begitu?"

Aku berdiri, berjalan ke arah pintu lalu keluar. Mungkin, kita perlu waktu sendiri untuk saat ini.

Aku terus berjalan menuju ruangan di mana para pekerja sepertiku ini akan berkumpul. Sesekali beberapa pasang mata terus menatku secara terang-terangan. Dan juga bisikan-bisikan itu yang membuatku ingin menenggelamkan diri ke dalam laut yang terdalam.

"Kalinda." Sapa Mia saat ia melihat kedatanganku. Untunglah hanya ada dia di sana.

"Kamu nggak papa?" Tanyanya. Aku mengangguk sebagai balasan.

Aku tau sekarang ini juga ada banyak sekali pertanyaan di kepalanya, terbukti dengan caranya menatapku sekarang ini. Namun apa peduliku, saat ini yang aku perlukan hanya sedikit bantuan dan teman untuk berbagi keluh kesah. Entah dengan siapa saja. "Boleh minta tolong?" Ia sedikit terkejut mendengar suaraku.

"Apa?"

"Aku butuh tempat menginap, setidaknya selama tiga hari. Boleh aku menginap di rumahmu?" Satu-satunya cara adalah menginap di rumah Mia, sebab pria itu akan tau aku ada di mana jika memakai uang didalam rekening.

Perempuan itu terlihat bingung, sedangkan aku masih metapnya dengan penuh harap.

" Oke baiklah, tapi aku hanya tinggal dikos-kosan yang sempit. Jadi jangan komplain jika kamu nggak nyaman." Aku tersenyum lebar, lalu menganggukkan kepala berulang kali. "Terima kasih, Mia."

"Tapi dengan satu syarat." Alisku terangkat, "kamu harus menceritakan apa hubunganmu dengan pak Karan padaku setelah sampai di rumah. Semuanya ...." Mataku melebar, kutatap matanya, lalu mengangguk setuju. Perlu kamu tau, saat kamu merasa benar-benar sendirian, maka memegang tangan seorang teman itu diperlukan. Walaupun nanti kau akan dapatkan beban.

"Akan aku ceritakan. Semuanya, dari awal hingga sekarang." Mia tersenyum senang, sedangkan hanya kubalas dengan senyum masam.




Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang