Kalinda telah memikirkan ini matang-matang, ia ingin mencari pekerjaan lain. Keputusan ini memang sulit diambil saat ia memiliki rekan kerja yang perngertian di sana, namun untuk sekarang mungkin inilah yang terbaik. Hingga pagi-pagi ia berangkat dan berpamitan dengan orang-orang yang ia kenal di sana. Sekaligus mengatakan kemunduran dirinya dalam pekerjaan. Mia yang juga ikut mendampingi Kalinda hanya diam memperhatikan, ia sudah berusaha untuk membujuknya agar tidak usah keluar dari sana, namun Mia juga tidak bisa berbuat apa-apa jika itu memang keputusan Kalinda.
Pagi ini entah kenapa Swara belum datang ke kantor. Sudah tiga hari semenjak mereka terakhir bertemu saat makan malam, setelahnya lelaki itu tidak kembali datang. Rasa penasaran sekaligus cemas sempat melanda Kalinda, ia berharap bisa bertemu dengannya di hari terakhir ia datang bekerja. Namun semakin siang lelaki itu juga tidak kunjung datang, sepertinya ia memang tidak masuk kerja hari ini. Tapi kenapa? Apa dia jatuh sakit?
Pertanyaan itu tak henti-hentinya berputar di kepala Kalinda. Ingin ia menghubungi untuk sekedar menanyakan kabar, tapi sulit sekali mengalahkan egonya sendiri untuk menyuruhnya tak usah peduli.
Hingga akhirnya dengan memberanikan diri ia memutuskan untuk mengirim pesan. Pesan yang terlalu singkat dan kurang basa-basi jika digunakan untuk menanyakan kabar.
Lagi di mana, Mas?
Sudah, hanya beberapa kata. Tapi jantungnya berdetak luar biasa. Lalu saat tanda dibaca terlihat di layar ponselnya, Kalinda menanti-nanti sebuah balasan.
Satu menit, tiga menit, hingga lima menit telah berlalu namun notifikasi balasan tidak juga kunjung datang.
"Pesanku hanya di baca. Benarkah?" Tanyanya tak percaya, "oh, mungkin sinyal." Entah Kalinda mengatakan itu untuk meyakinkan siapa, barangkali meyakinkan dirinya sendiri yang sudah berasumsi kemana-mana. Lantas ia kembali mengantongi ponselnya dan kembali bekerja.
Sedangkan di sisi lain, dua saudara itu tengah terlibat adu mulut. Alex dengan wajah kesalnya masih memegang ponsel kakaknya sembari meluncurkan argumen yang sedari tadi tak disetujui. "Apa salahnya mengabarinya? Mau sampai aku yang harus mengurusmu, hah?" Ucapnya setelah membacakan pesan dari Kalinda.
Dengan wajah tanpa bersalah Swara melirik Alex, "diamlah, jangan banyak bicara. Suaramu membuatku semakin sakit kepala."
"Kalau begitu suruh salah satu istrimu mengurusmu! Ck, aku sampai tidak bisa kemana-mana."
Swara menutup matanya, keesokan hari setelah dia makan malam dengan Kalinda tiba-tiba saja kepalanya sakit, lalu disusul dengan demam yang sudah dua malam ini menemani. Alex sudah menyuruhnya untuk menghubungi Kalinda, namun ia tidak ingin Kalinda tau keadaannya. Lalu saat Alex juga mengusulkan untuk mengabari Alana, dengan tegas Swara menolak.
"Lagi pula siapa yang menyuruhmu diam saja di rumah? Aku bisa jaga diriku sendiri."
Alex memutar bola matanya, "ya ya ya, aku tau. Kalau begitu aku ada urusan di luar, kakak bisa puas jaga diri sendiri selama aku pergi. Dan ya, jika sampai malam aku belum pulang, minum obatmu di meja, aku sudah menyiapkan roti dan air putih di sana."
"Hem." Jawabnya tanpa minat dengan masih menutup kedua bola mata.
"Huh, sudah sakit masih saja keras kepala. Benar-benar mirip papa." Ia mengambil ponselnya sendiri di atas meja lalu menaruh kembali ponsel Swara.
"Aku masih bisa dengar, Alex."
"Sengaja."
Setelah mengatakan itu Alex pergi, ia meninggalkan lelaki itu sendiri di dalam apartemen. Meskipun ia sedikit tidak tega, tapi keras kepalanya menghilangkan itu semua. Lagi pula dia sudah besar, bukan anak kecil lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas (End)
ChickLitSebuah pernikahan yang tak pernah terbayangkan. Membuat Kalinda harus menghadapi semuanya dengan tegar. Ia tak menyangka, menikah dengan pria yang asal usulnya tak ia ketahui membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Apalagi ketika sat...