Chapter 25

596 48 1
                                    

Author Pov

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Seorang wanita yang sedari tadi menunggu seseorang merasa khawatir karena orang yang ia tunggu tak juga kunjung datang. Sudah beberapa kali ia menghubungi dan mengirim pesan, namun sejak tadi ponsel pria itu tidak aktif. Lalu sekarang Kalinda sedang menunggu di depan teras sembari mondar-mondir tak jelas, seperti seorang ibu yang menunggu anaknya pulang.

Ia bisa bernapas lega saat melihat mobil memasuki pekarangan rumah, beberapa saat kemudian Swara keluar dari sana tanpa menyadari akan keberadaan Kalinda. Lalu saat pria itu menatap ke pintu rumah, ia mendapati istrinya tersenyum dengan begitu lembut, seolah hanya dengan melihat senyuman itu segala apa yang ada dipikirannya bisa melayang begitu saja.

Beberapa saat terpaku ia berjalan ke arah Kalinda. "Kenapa ada di luar malam-malam begini?" tanyanya dengan nada datar.

Kalinda mendengus kesal karena orang yang ia tunggu justru menanyakan itu. "Aku sedang menunggu seseorang."

"Siapa?" tanyanya. Sebenarnya ia tau bahwa dirinyalah yang Kalinda tunggu, namun sedikit menggoda tidak akan menjadi sebuah masalah rumah tangga, bukan?

"Tukang cilok."

Setelah mengatakan itu Kalinda meninggalkannya sendirian di luar, sedangkan perempuan itu masuk begitu saja. Melihat itu, ia tak bisa menahan senyumnya untuk tak merekaah.

"Sebenarnya di luar tadi aku melihat tukang cilok. Mau kubelikan?" tanyanya saat sudah mendekat ke arah Kalinda yang sedang menyiapkan makan di dapur dengan beberapa pelayan. Hari ini tidak akan ada gangguan oleh Sintya sebab wanita itu keluar sejak sore tadi, entah ke mana.

"Belikan jika memang ada." jawabnya ringan dengan tetap fokus pada piring di depannya.

"Oke." Setelah kata itu, langkah kaki terdegar pergi.

Kalinda baru sadar ketika Swara sudah tidak ada di sana. Ia berjalan keluar untuk mengecek di depan rumah, dan benar saja. Sepuluh meter dari tempatnya berdiri terlihat Swara bersama tukang cilok yang dia katakan tadi. Kalinda tak menyangka jika Swara sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia  berjalan mendekat, "mas!"

Kedua orang yang merasa terpanggil itu kompak menoleh.

"Dia istri saya." Penjual cilok itu tersenyum kemudian mengangguk pelan.

"Kenapa?" tanyanya, kali ini ia tujukan untuk Kalinda.

Perempuan itu tak langsung menjawab, matanya justru terfokus pada banyaknya cilok yang Swara pesan. Kalinda meneguk ludah melihatnya, jujur saja ia tak terlalu suka dengan jajanan ini, dan juga sejak kapan abang-abang penjual cilok ini lewat di perumahan yang bisa dibilang kawasan para orang kaya yang super sibuk ini. Melihat Kalinda yang hanya terdiam Swara kembali fokus pada penjual ciloknya.

"Ini pak, terima kasih ...." Dua piring yang cukup besar penuh dengan cilok. Swara mengangguk lalu menerimanya.

"Kalau istrinya lagi ngidam jangan boleh banyak-banyak mas."

Kalinda melotot, ia ingin protes, namun keduluan dengan perkataan Swara. "Tentu saja, pak." Setelah mengatakan itu mereka kembali ke dalam rumah.

"Siapa yang akan menghabiskan cilok sebanyak ini?" Kalinda bertanya tak habis pikir.

"Kamu yang memintanya, kan?"

"Tapi tidak sebanyak ini juga, mas."

"Tenang saja, makanlah."

Swara menyuruh Kalinda untuk duduk di sampingnya di meja makan, sepiring cilok itu terhidang didepannya dengan beberapa jenis makanan untuk makan malam. Sejenak ia memandangi cilok itu, lalu mengambil garpu dan memakannya. Tidak terlaku buruk, pikirnya. Setelah itu, mereka berdua melanjutkan malan malam dengan beberapa obrolan ringan serta pertanyaan dari mana saja Swara hingga tidak bisa dibungi. Sedangkan Swara menjawab dengan kebohongan, bahwa dia mematikan telfonnya karena sedang ada meeting dengan rekan bisnisnya dan tidak bisa diganggu.

"Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu." Swara berucap sambil melihat Kalinda yang sibuk membantu pelayan untuk membereskan tempat makan.

"Katakan saja."

"Aku sudah memutuskan agar kita tinggal di sini lebih lama lagi."

Fokus Kalinda seketika langsung perpindah padanya. Ia bisa merasakan ketekejutan dan kebingungan perempuan itu. Sebelum Kalinda bertanya, Swara lebih dulu menjelaskannya. "Sepertinya ada yang salah pada perusahaan. Aku ingin menyelesaikannya dan tetap tinggal di sini untuk sementara waktu."

"Lalu, aku harus pulang sendiri lebih dulu sambil menunggu urusanmu selesai?"

"Tidak. Kamu bisa tetap tinggal di sini bersamaku."

Kalinda terdiam, seketika pikirannya menjadi bercabang. Tinggal lebih lama di sini tanpa batas waktu yang pasti tidaklah mudah baginya. Walaupun Sintya sudah tidak pernah melukai fisik sejak terakhir wanita itu menamparnya bukanlah keadaan yang nyaman baginya. Ia hanya mengaharapkan rumah yang tenang dan damai walau tidak mewah. Setidaknya ia dan Swara bisa menghabiskan waktu berdua tanpa drama keluarga yang rumah ini bawa. Namun, apa pendapatnya ini akan didengar oleh Swara?

"Baiklah kalau itu memang keputusan mas. Lalu bagaimana dengan wanita itu?"

"Aku akan mengurusnya." Mendengar itu, Kalinda merespon dengan anggukan kepala.

****

"Bagaimana?"

Lelaki yang menjadi bawahannya itu menunduk hormat. "Seperti perintah tuan, saya mengikuti mobilnya hingga sampai di sebuah gedung yang berada di tengah hutan. Gedung itu sudah kosong sejak beberapa tahun, saya lihat di depan gedung di jaga oleh beberapa orang. Dan saya melihat mereka berdua masuk ke dalam gedung itu."

"Seberapa jauh lokasi itu dari sini?"

"Sekitar empat jam perjalanan, tuan." Jawabnya.

"Baiklah, kau boleh pergi. Dan ingat, terus awasi mereka."

Pria itu mengangguk, lalu pergi dari sana. Menginggalkan laki-laki yang sudah tidak muda lagi namun masih terlihat muda. Ia sibuk menatap kosong ke arah jendela ruangannya, memikirkan sesuatu yang akan dia lakukan. Namun, panggilan seseorang mengalihkan perhatiannya. "Apa?"

"Nyonya Sintya sudah hampir dua jam menunggu di depan." Ucap salah satu pelayang rumah dengan segan.

"Suruh dia kemari."

"Baik, tuan." Ia berbalik lalu pergi. Lalu tak berselang lama, wanita itu masuk dengan perasaan jengkel karena dia sudah menunggu sangat lama.

"Kau tau aku sudah menunggu sejak tadi, ha?"

Laki-laki itu tersenyum tipis, dan itu membuatnya berkali-kali lipat menjadi lebih tampan. Ia mempersilahkan Sintya duduk, lalu sejenak menatapnya dalam diam yang sontak membuat wanita itu sedikit salah tingkah. "Maafkan aku ... Ada apa kamu kemari?"

Ia menormalkan mimik wajahnya, "tentu saja untuk menyuruhmu agar segera melakukan rencana yang sudah kita rencanakan."

"Tenanglah, sebentar lagi."

"Sebentar lagi bagimu itu sangat lama untukku, aku tidak betah lagi serumah dengan mereka. Apalagi kurasa, ada yang aneh dengan sikap Karan padaku. Dia menatapku dengan datar namun seakan menahan sesuatu, bagaimana jika dia sudah mengingat semua?" terlihat jelas bahwa ia sedang khawatir.

"Benarkah? bukankah kau dulu yang memintanya tinggal di rumah dan berkata supaya dia bisa cepat mengingat masa lalunya?"

Mendengar tuduhan itu ia merasa tak terima. "Bukankah kau yang menyuruhku agar tetap dekat dengannya?"

"Bukan berarti harus tinggal bersama. Entah kenapa sejak dulu pikiranmu selalu dangkal."

Jika saja tidak dalam situasi darurat mungkin ia akan melawan perdebatan yang tak berguna ini. "Dengar, Agustinus! ini bukan saatnya untuk berdebat, cepat katakan apa yang harus aku lakukan sekarang dan kapan rencana kita akan kita jalankan?"

Lelaki itu diam, namun sesaat kemudian berkata, "segera, tunggulah. Aku akan menghubungimu saat semuanya sudah siap."

Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang