Gwen menghela napas. "Morgan, tolong nikahi saya."
Morgan membulatkan mata. "Pfft! Hahaha!" Morgan tertawa keras sampai kepalanya mendongak bahkan tangannya memukul-mukul meja Gwen.
"Morgan, ibu serius." kata Gwen dengan wajah terutama pipi yang terasa panas juga berubah merah.
Morgan berdiri dan masih tertawa kemudian mengulurkan tangan. "Yok, ayo kita ke KUA sekarang."
"Morgan."
"Iya, Bu. Ayo kita ke KUA sekarang, kita nikah sekarang."
"Morgan, ibu serius."
"Saya juga serius, Bu. Ayo kita ke KUA sekarang, kita nikah sekarang." kata Morgan disela-sela tawanya.
"Morgan."
Morgan mulai berhenti tertawa. "Ibu keliatan jauh lebih serius." ujarnya dengan nada rendah dan Morgan kembali duduk.
"Ibu serius sama omongan ibu tadi." ucap Gwen.
Morgan membuka mulutnya untuk berbicara tetapi bingung harus mengatakan apa sehingga mulut Morgan kembali terkatup rapat.
"Ibu bener-bener malu untuk minta hal tadi ke kamu." Gwen memejamkan mata sejenak. "Tapi, ibu cuma mau penuhi permintaan nenek ibu."
"Satu kata, gila. Saya nikah sama guru saya sendiri? Marry my own teacher? Wah!" Morgan menggeleng-gelengkan kepala.
"Nenek ibu sakit, dan dia minta ibu untuk nikah sama kamu."
Morgan tertawa sambil menyentuh kepalanya. "Saya yakin saya nggak pernah ketemu sama nenek ibu, hal yang wajar orang-orang tau saya tapi saya nggak tau siapa dia. Please, Bu. Kita nggak lagi main film, dan jangan bikin kita kayak lagi di Wattpad." kata Morgan.
"Morgan, ibu cuma punya nenek ibu. Dia yang rawat ibu dari kecil. Iya, dia tau siapa kamu, tau tentang siapa keluarga kamu, keluarga besar kamu. Dia emang punya keinginan untuk ibu bisa jadi bagian dari keluarga kamu, kalian."
"Gila, lo gila. Sorry nih gue pake lo-gue sekarang, karena gue ngerasa mulai nggak nyaman sama lo."
Gwen diam di mana sebenarnya ia tidak merasa sakit hati.
"Minimal nikah itu umur sembilan belas tahun, gue masih delapan belas ditambah gue belom kerja. Lu mau makan ape kalo kawin sama gue?"
"Nikah, Morgan. Saya kerja, biar saya yang biayai semua kebutuhan kita."
Morgan tertawa sambil memalingkan wajah. "Enggak, gue nggak bisa. Cari laki-laki lain, lo itu primadona murid laki-laki. Ah, Vincent! Lo kawin sama Vincent karena Vincent suka sama lo."
"Dokter bilang nenek saya nggak punya banyak waktu untuk hidup. Saya cuma mau penuhi keinginan dia, Morgan. Nikah sama kamu."
"Umur lo berapa?"
"Dua puluh satu tahun."
"Kita beda tiga tahun? Jujur, lo keliatan kayak umur tujuh belas tahun, tapi gue nggak bisa! Gue nggak bisa nikah sama lo. Bonyok gue, khususnya nyokap gue pasti nggak bakal kasih izin. Nggak!"
Gwen menghela napas. "Atau kita nikah kontrak aja. Yang penting saya bisa nikah sama kamu di depan nenek saya."
"Lo guru tapi kenapa nggak punya pemikiran yang panjang sih? Lo pikir nikah itu main-main?"
"Saya kayak gini karena nenek saya, karena keinginan nenek saya."
Morgan sedang berdiri, berjalan ke sana dan kemari dengan tangan yang berada di pinggang. Morgan menatap Gwen. "Kalo lo berani, lo yang ngomong ke nyokap gue. Berani nggak lo?"
Gwen tampak diam sambil berpikir karena Gwen dengar jika Ibu Morgan adalah wanita yang keras dan galak.
Gwen mengangguk. "Berani."
Morgan mengambil kunci motornya dan keluar lebih dulu, "ayo."
Melihat Aiko masih menunggu di luar, Morgan langsung menghampiri gadis itu. "Ai, lo pulang sendiri nggak papa, 'kan? Gue ada urusan yang penting banget bareng Bu Gwen, banget. Gue bawa motor, nggak lucu kalo gue bonceng lo sama Bu Gwen sekaligus. Lo di depan, Bu Gwen di belakang, itu nggak lucu."
Aiko menatap Gwen yang baru saja keluar dari ruang guru. "Oh, oke."
Morgan tersenyum sambil mengusap-usap kepala Aiko lalu kembali berjalan tanpa menunggu Gwen. Morgan berjalan dengan langkah lebar menuju parkiran motor di mana di sana hanya tersisa tiga motor saja, salah satunya motor besar milik Morgan.
Gwen terpaksa berlari untuk menyusul Morgan dan Morgan sudah duduk di atas motor seraya memakai helm. Gwen terdiam menatap jok motor Morgan yang tinggi dan kecil.
"Morgan, saya pake rok."
Morgan menoleh dan berdecak lalu turun dari motor, Morgan membuka jaketnya untuk ia lingkarkan pada pinggang Gwen dengan menutupi bagian depan paha Gwen.
👩🏻🏫
"Ya ampun, Ibu Gwen. Tiba-tiba banget dateng ke sini." kata Winnie seraya menata rambutnya yang sedikit berantakan karena tadinya sedang bermain bersama Driz.
Gwen tersenyum seraya melirik Morgan yang berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada.
"Ada apa, ya, Bu? Morgan bikin ulah? Nggak pernah kerjain PR? Atau gimana, ya? Emang kadang jadi anak nakal banget."
Gwen kembali tersenyum di mana saat ini ia merasa lega karena Winnie terlihat ramah dan santun dalam berbicara. "Memang ada yang mau saya sampaikan ke Ibu Winnie. Sebelumnya saya mau minta maaf kalau saya lancang."
Winnie membulatkan mata. "Ya ampun, kenapa saya jadi deg-degan, ya?" Winnie tertawa sambil menyentuh dadanya.
"Woi!" seru Driz yang sedang berjalan dengan memegang sendok masak-masakannya dan hanya mengenakan celana dalam juga tank top.
"Mami ada tamu, suaranya dipelanin." Winnie menaruh telunjuk di bibir.
"Kakak ini siapa? Pasti pacal abang, ya?"
"Sembarangan, bukan!" balas Morgan.
"Intinya pacal abang, Dliz mau anggap kakak ini pacal abang. Yeey! Kakak ipal!" Driz tiba-tiba saja memeluk Gwen.
Winnie tertawa tidak enak hati pada Gwen. "Emang anak saya yang nomor dua yang paling bener, mohon dimaklumi." Winnie menunjuk bergantian Morgan dan Driz.
Gwen tersenyum dengan satu tangan yang membalas pelukan Driz. "Nggak papa, Bu." Gwen menatap Morgan di mana Morgan terlihat sedikit memiringkan kepala sejenak ke arah Winnie seolah menyuruhnya untuk memberitahu sang ibu.
Gwen menatap Winnie. "Bu, sekali kali saya minta maaf. Saya mau, saya mau Morgan nikahi saya."
"HAH?!" Kedua mata Winnie membulat sempurna.
👩🏻🏫👩🏻🏫👩🏻🏫
Qotd: Winnie bakal keluarin tuduhan legend nggak nih kira-kira?
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry My Own Teacher [COMPLETED]
Novela Juvenil"Morgan, tolong nikahi saya." Morgan tertawa keras setelah mendengar permintaan gurunya yang masih muda itu. Walaupun cantik, masih muda, dan sudah pasti pintar. Morgan tidak bisa memenuhi permintaan sang guru karena menikah dengan guru sendiri adal...