18 | One Second Hope

100 28 3
                                    




Satu detik.

    Itu saja sudah cukup untuk membunuh segalanya termasuk sirkuit kewarasan di dalam kepala Jeon Taehyung.

    Seakan kejutan tersebut belum cukup, kelopak mata Taehyung melebar hingga ia merasa bola matanya hampir terjun ke lantai ketika melihat genangan darah di sekujur tubuhnya yang terbaring.

Itu aku? Aku mati?

    Demi Tuhan. Tolong selamatkan. Tatkala ia menutup mata demi menghempas horror yang bercokol dan semuanya menggelap, bongkahan kekhawatiran menyeruak dan menarik Taehyung ke dalam putaran jeritan yang memekakkan telinga. Segalanya semakin gila saat sebuah sosok dengan pisau berlumuran darah menghampiri tubuh Taehyung yang terbujur kaku di lantai.

Dan itu adalah... Taehyung sendiri, lagi. 

Tidak. Lalu siapa yang terbaring bersimbah darah di sana? Jangan bilang k—

"SHIT!" Taehyung terbangun total. Napasnya tak beraturan dan diafragmanya mati-matian memompa udara untuk dihirup agar ia tidak merasa semakin sekarat.

Sial. Sial. Sial.

    Datang lagi. Mimpi itu datang lagi.

    Membuka luka lama memang bukan ide yang baik. Seharusnya dilupakan saja. Seharusnya luka menyakitkan seperti itu musnah saja dalam memori supaya tidak menyusahkan hidup. Tapi apa daya, rasa sakit itu selalu menuntut. Menuntut agar diingat agar menjadi suatu bekas; barangkali jadi pelajaran atau penyesalan.

Dan dalam kasus Taehyung... ia tidak tahu yang mana bekas miliknya.

    Bekas apa yang ia dapatkan setelah menyelamatkan diri dengan menghabisi nyawa ibunya di tanah berselimutkan putih pada malam itu?

    Pelajaran karena ia telah melakukan sesuatu untuk dirinya dan Nenek?

Karena ia mempelajari bahwa menghilangkan seseorang yang terus menyakiti dirinya itu terasa begitu melegakan sampai-sampai merasa bahwa seharusnya ia lakukan sejak dulu? Pelajaran karena ia sudah aman dari kesakitan dan rasa takut yang menghantui tiap malam akibat perlakuan abusif dari ibunya yang sinting?

    Atau penyesalan karena ia telah merenggut nyawa orang yang telah melahirkannya?

Karena di detik-detik kematian ibunya hanya ada lirihan lemah dari sang ibu yang mencairkan kristal di matanya? Penyesalan karena ia tidak bisa memaafkan perlakuan iblis penuh trauma dan horror yang diperbuat ibunya? Penyesalan akibat ia tak cukup murah hati untuk bisa memaafkan Ibu yang selalu menghajarnya dengan benda tumpul bahkan pernah dengan perkakas bengkel milik Ayah dan setrika panas?

Oh, atau karena ia tak bisa melupakan bagaimana Ibu berusaha membunuhnya saat tahu Ayah meninggal?

Karena ia tak bisa melupakan bagaimana rasa sesak cekikan ibunya dalam bath tub penuh air di malam Natal yang dingin? Atau karena ia masih ingat dengan jelas bahwa saat sekolah dasar dulu, Ibu selalu membeli kue krim hangat berbentuk sinterklas dan hal itu takkan pernah kembali lagi?

Taehyung pendosa. Sungguh, ia benci betapa sampah eksistensinya kini. Dan Taehyung merasa semakin hina saat dirinya sendiri tak bisa membohongi diri, bahwa meski air matanya kian meneteskan pahit dan perih yang bersemayam di dada, hati kecilnya merasakan lega teramat luar biasa dan rasa aman yang membara.

Tidak akan ada yang menyakitinya dan Nenek lagi.

Tidak akan ada seorang pun.

Kecuali jika membenci diri sendiri dianggap menyakiti—maka Taehyung sudah lama menyakiti dirinya sendiri.

    Taehyung tidak keberatan kehilangan apapun dari dirinya kecuali Nenek. Dan setelah kehadiran demi kehadiran yang dibuat menyenangkan oleh gadis berlesung pipit yang tinggal di dekat rumahnya, Jeon Taehyung jadi sadar ia akan kehilangan lebih banyak hal tahun ini.

Jeon Taehyung juga tak sanggup jika kehilangan Moon July.

    Gadis itu terlalu banyak menyeruak paksa masuk ke dalam kehidupannya. Perlahan-lahan membuatnya percaya bahwa barangkali di ujung awan kelabu memang benar ada pelangi. Membuatnya sadar bahwa rembulan akan tetap menyinari kelam malam meski hal berharga tak lagi utuh.

    Dan itu terlalu banyak buat Taehyung.

    Ia tak ingin menerima itu semua. Dan ia tahu ia akan hancur berantakkan jika telah berurusan dengan kefanaan ini; pendaran harapan, kesempatan, dan perasaan.

    Peraturan nomor satu. Perasaan adalah kelemahan terbesar. Dua; kesempatan adalah ilusi belaka. Serta yang terakhir; harapan adalah permintaan orang lemah.

    #'Astaga! Jeon Taehyung!'#

    Satu pesan suara muncul dari telepon rumah. Taehyung mengernyitkan dahi. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk.

Dan benar saja. Ia hanya bisa terduduk, menghantamkan diri ke tembok, saat mendengar kalimat lanjutan yang masuk. Satu pertahanan fananya hancur melebur menjadi panas di wajah dan ia hanya ingin harapan serta kesempatan fana tersebut mendatanginya, bersama-sama menolongnya untuk memusnahkan mimpi buruk. Tolong beri dia harapan meski satu detik saja.

Ia hanya butuh itu. Tolong kabulkan.

    #'Kalau dengar pesanku, segera pulang sekarang. Nenekmu masuk rumah sakit.'#

The Moon I Met in July | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang