05| Maple Leaves

546 160 98
                                    

          Hampir 1 jam lamanya July berdiam diri di kamar. Keriut engsel berbunyi, tanda bahwa seseorang hendak masuk.

          "Joori? Papa masuk, ya."

          Moon Joori itu nama lahirnya. Tapi orang sekitar lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan July. Tidak berbeda dalam aspek pelafalan, hanya penulisan. Selain Papa, hanya Mama yang juga memanggilnya dengan sebutan 'Joori'. Itu nama kesayangan untuknya.

          Menekuk lutut dan duduk di lantai, Papa mendongak pada putrinya yang terjaga dalam balutan selimut, mata pria itu berpendar penuh harap dan kelembutan. Ini pandangan sama yang July dapatkan setiap kali mata mereka bertemu. Papa July bukan sosok yang banyak bicara. Tidak juga banyak mengekspresikan kasih sayang. Akan tetapi, July dapat merasakannya.

          Pernah satu kali saat July masih duduk di sekolah dasar, Papa menghampirinya ke sekolah di sela pekerjaan hanya karena bekal makanan July tertinggal di rumah. Padahal total jarak tempuh dari kantor, rumah, lalu ke sekolahnya kala itu tidak terbilang dekat.

July jadi tahu; Hal yang terlihat kecil, belum tentu tidak besar perjuangannya.

          Jadi setelah membalas pandangan papanya, July membuka kerongkongannya yang serak, "Maaf."

          Papa tersenyum, "Kenapa minta maaf?"

          "Karena... terus merepotkan?"

          Menatap penuh kehangatan yang merebak, satu senyum terurai tipis, "Tidak boleh bicara begitu. Nanti Junni tidak akan senang mendengarnya."

          July menunduk. Hela napas dibuat panjang, apalagi saat bayangan-bayangan buruk mulai menyeruak dan mendominasi isi kepalanya.

          5 tahun yang lalu pada hari itu adalah ingatan yang menyesakkan. Berada di rumah sakit selama 4 bulan penuh bukan pengalaman yang menyenangkan bagi bocah SD perempuan yang baru saja kehilangan banyak hal.

          Kenangan membuat ia terbawa waktu, ketika Rumah Sakit Busan masih berwarna krem muda kecoklata. July cilik hanya bisa berusaha menerima kesehariannya sewaktu ia ditempatkan di bangsal individu yang sepi manusia.

          Akan tetapi, kehadiran bocah spesial itu mengubahnya.

          Jeon Taehyung, si kursi roda dari kamar 601, pasti akan selalu membuat keributan di koridor.

          Sebenarnya July agak berterima kasih. Ia merasa sedikit terhibur dan sepi yang dirasa perlahan memudar seiring suara cempreng milik bocah kerempeng itu kerap memenuhi telinga. Lecutan samar terasa pada dadanya karena kini ia ditarik kembali ke realita bahwa suara Jeon Taehyung cilik telah berubah. Menjadi berat dan dingin.

          Bahkan July sendiri tidak yakin apakah Taehyung masih mengingat kenangan mereka atau tidak. July sendiri tidak mengerti kenapa ada keinginan tersirat harapan bahwa barangkali Jeon Taehyung mengenang memori kecil mereka.

            Mendekatkan diri dan menempatkan sebuah diari tebal di tangan, Papa July duduk di tepi tempat tidur berjarak 2 siku dari anak sematawayangnya.

          "Joori masih suka daun maple, 'kan?"

          Pria itu menyodorkan buku, terbuka pada halaman yang menampilkan banyak daun maple yang sudah dilaminasi. "Ini daun maple yang kau kumpulkan sejak TK. Mungkin bisa memperbaiki suasana hatimu."

          "Astaga, Pa? Sejak kapan Papa membuat ini? Kupikir semua daunnya sudah dibuang," Bibirnya tak henti menganga takjub. Ah, ini kelewat manis. "July akan menyimpannya!" 

The Moon I Met in July | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang