21 | 10% Chance

106 25 5
                                    

Seokjin tidak punya keberanian untuk bertanya lagi soal Taehyung.

Tidak tahu mengapa, namun tidak ada sebersit spekulasi pun yang muncul. Bahkan sekalipun lidahnya bertanya kepada Jungkook, si Jeon besar itu hanya menolak memberi jawaban.

Namun sebelum ia pergi dari Daegu, ia memang mendengar bahwa Jeon Taehyung punya catatan kriminal di penjara remaja. Hanya itu yang Seokjin tahu.

Sigh

Dan di sini ia bersama si gadis kepala batu, berdiri bersama menunggu kereta datang. Sebenarnya Seokjin tidak mau membiarkan Moon July ke tempat Taehyung.
Selain alasan keamanan, kesehatan July juga sedang tidak baik. Seokjin tahu itu dengan jelas. Dan ia terpaksa (ralat, dipaksa) berjanji menemani gadis ini setelah keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.

"Menurutmu Taehyung akan baik-baik saja?"

Pertanyaan bodoh. Tapi hanya itu yang bisa dilontarkan July. Ia panik setengah mati saat menerima pesan Soya mengenai kabar Taehyung dan malah mengomeli Seokjin macam-macam karena sudah tega merahasiakannya.

Kim Seokjin menyematkan dua tangan di saku parka. Kepalanya pusing. Membawa Moon July dari Busan ke Daegu bukan ide baik. Bahkan mereka masih harus pergi ke halte bus untuk sampai di Geochang. Bukankah ini sudah terdengar seperti ide paling buruk sepanjang tahun? Sangat buruk, malah.

Setelah mengetahui segalanya dan meminta izin pada orang tua July—lebih tepatnya gadis bebal ini membohongi orang tuanya dan meminta bantuan Seokjin untuk berbohong. Seokjin tak bisa menolak mengingat percakapan mereka di bangsal rumah sakit.

Derek kereta mulai terdengar semakin nyaring dan Seokjin hanya bisa menghela napas berat seiring menuntun gadis mungil itu untuk melangkah masuk.

"Jin, semuanya akan baik-baik saja." July menyemangati.

"Kau tahu, aku tak butuh semuanya."

"Aku tahu. Maksudku, aku akan baik-baik saja."

Kim Seokjin tidak tahu, apakah bahkan ada sepuluh persen keberanian di dalam dirinya saat ini. Ini benar-benar sinting dan di luar kendali. Lantas ia hanya berusaha—meski dengan berat hati—mengabulkan permintaan Moon July.

Seokjin mengamati satu per satu. Setelah mendapat bangku, ia hanya memasang earphone, menyetel lagu demi meredakan emosi, dan memutuskan untuk tidur agar sel otaknya bisa lupa sedikit tentang apa yang sudah ia tahu.

Akan tetapi, semuanya malah semakin jernih. Kepalanya tak bisa berhenti melukis bagaimana koridor kuno sekolah dasarnya yang terlihat semakin lapang bagi gadis kecil (yang kala itu suasana hatinya sedang buruk).

Kepala si gadis menunduk, sepasang mata sayu dipakai untuk memerhatikan langkah telapak kaki yang memijak satu keramik demi keramik lainnya. Terkadang si gadis harus melompat saat kelewatan. Lompatan itu dibuat sangat hati-hati agar ujung kakinya tidak menyentuh garis ukir keramik.

Saat itu, Kim Seokjin, anak laki-laki tembam berumur 7 tahun yang hobi menggunakan ransel jingga terang berisikan banyak makanan, bertemu pertama kali dengan Moon July.

Dan Seokjin jadi suka mengikuti kebiasaan si gadis; melangkahkan telapak kaki tepat di kotak keramik. Menurutnya itu cukup seru dan menyenangkan, seperti sedang berada di dalam game dan menjadi karakter utamanya.

Namun Seokjin ikut berhenti saat si gadis-yang-tak-ia-tahu-namanya menatap keramik dingin tanpa suara.

Begitu lagi. Gadis berbando putih itu suka sekali begitu. Bukan satu dua kali Seokjin melihatnya dan memerhatikan perilakunya. Seringkali gadis kecil itu terlihat kelelahan dan kelihatan pucat—sama seperti momen ini.

The Moon I Met in July | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang