Bisa jadi ini adalah sisi paling menggemaskan dari Kim Seokjin yang July pernah lihat seumur hidupnya. Seokjin datang ke depan rumah.
Seokjin terlihat rapi dengan sweater polos berwarna kuning gelap dengan dalaman kemeja cokelat. Celana jinsnya juga dipadu dengan jaket biru navy semampai. Dan bagian menggemaskannya adalah...Seokjin benar-benar menjemputnya dengan sepeda.
Sepedanya berwarna merah. Warna favorit July dan itu sesuai request.
"Hai, pacar," sapa Seokjin dan membuat sang gadis dengan parka marun sepaha dan jins potongan lurus itu tertawa geli.
"Terdengar tidak natural."
"Yeah, kau benar. Kalau begitu kupanggil Moon saja."
July duduk di sepada dan Seokjin mulai melaju. "Duh, kenapa kau selalu memanggilku dengan Moon?"
Seokjin tertawa renyah, "Sudah kubilang itu bagian dari namamu."
"Bukankah July juga bagian dari namaku?"
"Kurasa aku hanya pantas mendapatkan bagian itu," Seokjin menjawab penuh arti, "Kau tak pernah menyelesaikan namamu saat kita pertama kali bertemu di TK."
Tunggu. Apa? July menganga takjub.
"Kita pernah bertemu?"
Seokjin mengangguk. "Tapi kau melupakanku setelah pingsan di hadapanku."
Itu benar. Itu operasi pertamanya. Dan pada musim semi 5 tahun lalu, July operasi lagi dan lagi-lagi ia terbangun sebagai anak yang tidak tahu apapun di Rumah Sakit Busan pada musim panas.
"Tunggu. Jadi itu alasan kau agresif sekali menanyai dan mendekatiku selama ini?"
Seokjin bergumam. "Salahku yang susah melupakan.""Apa?" July mengerjap bingung.
"Aku suka padamu, Bodoh," Seokjin tidak terlihat main-main. "Sejak dulu. Sejak aku belum tahu namamu. Memang tidak sadar? Kurang jelas, huh?"
Gadis itu terlihat bingung. Tapi Seokjin sudah memberi jawaban untuknya. "Tapi aku tak butuh jawabanmu. Dan karena kau pelupa, kumohon kau melupakan ucapanku tadi."
"Kau tidak sedang membual karena hari ini kita adalah sepasang kasih, 'kan?"
"Duh, justru kau harusnya berpikir lebih panjang. Aku rela merepotkan diriku untukmu—membawa sepeda merah norak dan jadi pacarmu sehari. Tentu saja aku serius menyukaimu, Moon!"
July menggigit bibir. Kenapa pria ini mudah sekali untuk bicara. Seokjin tertawa-tawa di depan sana, tak punya beban kelihatannya. Dia jadi merasa sedikit bersalah karena pernah menyepelekan Seokjin.
"Seokjin..." Kemudian July menyandarkan kepalanya pada Seokjin yang masih mengayuh sepeda. Ia berbisik pelan, tapi Seokjin bisa mendengar kalau July memanggilnya.
"Di situasi seperti ini apa yang harus kukatakan? Lebih baik aku bilang terima kasih atau maaf?"
Seokjin tersenyum getir sebelum menengok ke belakang, "Minta maaflah padaku kalau kau merasa perasaanku ini hanya beban dan jika kau benci melihat presensiku.""Dan kalau kau merasa bersyukur karena kita berteman dekat, katakan terima kasih."
Moon July ini pasti sudah jadi gadis paling kejam karena menolak pemuda sebaik Seokjin. Dan Seokjin bahkan sudah tahu kalau July akan menolaknya.Mulutnya tersenyum tipis sekali saat satu tetes air mata membasahi bibirnya. Ia hanya tak bisa menahan diri untuk merasa bersyukur karena punya banyak orang baik di hidupnya. Kim Seokjin memang mentari hangat.
"Terima kasih, ya."
Moon July tidak pernah memberinya pilihan sedari awal. Sedari awal pilihan itu bukan miliknya, tapi milik Jeon Taehyung. Lantas, pemuda di depan itu mengangguk ceria meski jauh di dalam sana, Seokjin tahu hatinya sedang retak dan disiram sesak.
"Sama-sama, Moon."
***
Usai menghabiskan waktu dengan permen kapas, takoyaki, dan mengambil berpuluh-puluh foto lewat kamera, tentu saja July harus pulang setelah senja tiba.
Seokjin menghentikan sepeda dengan hati-hati dan memiringkan sepeda agar kaki mungil sang gadis dapat menyentuh tanah dengan lebih mudah.
Seokjin menunjuk dengan dagu, "Cepatlah masuk."
July mengangguk dengan senyum termanis. Ia meraih kenop besi dengan cepat, tapi pergerakan tersebut berhenti sejenak kala masih ada satu pertanyaan mengusik di kepala.
"Jin, menurutmu aku harus memberi tahu Taehyung soal apa yang kuucapkan kemarin?"
"Jangan bercanda. Tentu saja kau harus memberitahunya."
"Benar... aku akan mencoba... Tapi bagaimana caranya?"
"Dengan caramu, Moon. Tak ada yang mengerti Jeon Taehyung selain kamu, Moon July."
Begitu, ya. Lambat laun semuanya harus diberitahu. July menutup pintu gerbang dengan senyum mengembang yang dipasang, meski sulit sekali matanya berbohong bahwa hatinya sesak.
Senyum merekah tadi sudah memudar, berganti jadi bibir yang terlipat pasrah. Gadis itu menutup pintu kamar dengan air mata menggenang. Napasnya tercekat. Ia berusaha keras untuk tidak menangis.July membuka nakas dan mengeluarkan bucket listnya terus dia mencentang bucket listnya dengan jari gemetar hebat.
Kepalanya mengilas balik tentang konversasi senja yang ia habiskan bersama Seokjin. "Ini bukan tentang permintaan soal sepuluh persen, Jin. Sekarang 90 persenku sudah berkurang jadi 50 persen."
Seokjin tidak terlihat mengerti. Tapi usai July kembali membuka mulut, pemuda bermarga Kim itu hanya bisa menggenggam tangan sang gadis yang tengah gemetaran.
"Dokter Lee bilang, jika aku tidak melakukan operasi, aku hanya punya 1 bulan paling lama. Jadi... ketidaktahuanku soal sisa waktu hidupku tak berarti lagi Jin. Jadi lebih baik aku segera operasi sebelum musim gugur datang, 'kan?"
Kedua netra mereka bertemu. Semilir angin merengut senyum detik demi detik. Bersama kata-kata yang ia ucapkan, Moon July hanya bisa berusaha untuk tidak runtuh.
Moon July menutup jurnal lavendernya. Air matanya runtuh di sini. Tangisannya membuat bercak luntur pada tinta yang tergores di atas lembaran putih tak bernyawa dalam pangkuannya.
"Sebab jika tidak, aku sudah pasti takkan bertahan sampai musim gugur nanti." []

KAMU SEDANG MEMBACA
The Moon I Met in July | salicelee.
FanfictionJeon Taehyung terlihat berbeda. Matanya jadi suram dan sikapnya dingin. Yang sama hanyalah, dia masih punya banyak bekas luka pukulan. Sebagai teman kecil, Moon July mencoba membuka hati Taehyung, namun ia sendiri malah berusaha menutupi sesuatu di...