Di dunia ini ada banyak hal berharga yang seringkali tidak utuh. Harapan, salah satunya.
Saat itu July berusia 13 tahun, untuk pertama kalinya jatuh cinta dengan voli, dan bertekad untuk menjadi atlit voli nasional setelah bermain dua minggu—padahal baru menghasilkan satu smash dan satu servis yang melambung tinggi sempurna.
"Wow! Aku berbakat!" ia berseru.
Moon July tidak terlalu ambil pusing meski pelatih di sekolah tertawa canggung dan berusaha memberi kata-kata sopan, "Iya, semangatmu tinggi. Ayo, latihan lagi."
Dan, yah, voli adalah salah satu dari hal berharga—yang sudah rumpang—bagi seorang Moon July.
Barangkali bukan takdirnya. Dan ia harus menerima takdir tersebut.
"Hei, July. Tidak ganti baju olahraga?" tanya Sera yang sedang melepas kancing seragam, kemudian menarik kaos dari dalam loker.
July mengangguk pelan. Tampak kelelahan. "Nanti saja. Aku ingin telat ke lapangan."
"Tahun lalu, aku masih ingat jelas kau pasti selalu jadi anak pertama yang merebut bola voli. Ada apa ini?"
July mendongak dalam hening. Menatap langit mendung nyaris satu menit. Bayangan seperti rol film terputar di dalam benak dan ia tak sedikit pun berusaha mengibas gambar tersebut. Suasana hari ini persis hari itu. Rabu yang terguyur hujan.
"Sera, kurasa hari ini akan hujan," jawab July tidak bersemangat.
Sera tertawa kecil. "Dan kau selalu bermain voli saat hujan. Kau bilang itu paling seru. Apa kau lupa?"
July menggeleng lemah sambil memasang senyum terbaiknya. Mana mungkin lupa. Mana mungkin ia lupa betapa bahagianya perasaan menyusuri lapangan, berlarian kesana kemari demi menerima bola, lalu menghajarnya ke tanah untuk mengagetkan tim lawan bahwa tubuh kecil seperti miliknya pun memiliki kekuatan yang begitu besar.
July yakin bahwa makanan sup misoa dengan telur dadar cincang buatan Ibu Kantin paling sedap disantap saat hujan sehabis latihan. Meski ingatan July tak sebagus kala dini, mana mungkin ia mampu lupa akan kebahagiaan itu?
Sekalipun sudah lama tak melakukannya, perasaan menggebu-gebu seperti kembang api yang meledak di dadanya itu nyata. Perasaan bahwa tetes demi tetes keringat di pelipis mengingatkan kalau July adalah benar dirinya sendiri.
Semua kerja keras, perjuangan, semangat, gairah, dan rasa cinta yang tak bisa lagi tertimbun itu sekarang harus dikemanakan?
Semua sudah tak lagi utuh sejak Rabu yang diguyur hujan kala itu.
***
Dokter Hwang Minhyun tertawa saat July membawa masuk tiga bungkus taiyaki kacang merah. Aroma mentega merebak sempurna, menyelimuti aroma diffuser citrus di ruangan UKS. Gadis itu akhirnya dapat masuk dan duduk dengan nyaman, setelah pasien—berkedok fans—Minhyun menyelesaikan 'pengobatan' mereka.
"Hi, Dokter Hwang!"
"Kau tahu membawa masuk makanan ke UKS itu dilarang, bukan?" Dokter Hwang menggeleng tak percaya. "Apalagi kalau makanan favoritku."
Lesung pipit July muncul, ia menampakkan sederet gigi putih dengan bebas. "Setidaknya lebih baik daripada pura-pura sakit untuk dirawat olehmu, 'kan?"
"Oke. Jadi dari tiga kantung itu, yang mana milikku?"
"Aku butuh makan, setidaknya satu."
"Dan satunya lagi milik Taehyung?" Hwang Minhyun mengangkat satu alis dengan usil. Ia tersenyum menyelidik.
"Eeey, kenapa kau bawa-bawa landak yang satu itu? Dia bahkan tak masuk sekolah hari ini." Bibir July mengerucut tak suka, tapi tangannya mendekatkan taiyaki pada lengan Minhyun. "Sisa dua bungkus itu kubeli khusus untukmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Moon I Met in July | salicelee.
FanfictionJeon Taehyung terlihat berbeda. Matanya jadi suram dan sikapnya dingin. Yang sama hanyalah, dia masih punya banyak bekas luka pukulan. Sebagai teman kecil, Moon July mencoba membuka hati Taehyung, namun ia sendiri malah berusaha menutupi sesuatu di...