Telunjuk pucat menahan bibir mungil itu untuk bicara lagi. Ia tidak ingin kesedihan berlarut-larut dalam dirinya maupun Sarada. Mereka memiliki nasib yang tak jauh beda, jadi Mitsuki sangat paham apa yang mengganjal dalam benak Sarada. Perlakuan sederhana itu mampu membuat Sarada tak berkutik beberapa menit. Dua pasang mata saling bersitatap dalam satu titik. Tak peduli udara yang semakin dingin, Mitsuki menikmati kesempatan ini terlebih lagi saat tubuh mereka bermandikan cahaya bulan yang semakin memancar.
💞
💞
💞
Mafia
💞
💞
💞
"Masih ada rasa takut di matamu."
"Itu tidak benar."
"Kalau begitu tatap aku sekali lagi."
Dia benar, takut itu masih ada setiap menatap wajahnya. Mitsuki memang memperlakukannya dengan baik tapi Sarada merasa bahwa suaminya memiliki sisi lain yang terus disembunyikan darinya. Sisi dimana ketakutan bisa timbul karenanya dan mampu menundukkan semua orang yang berhadapan dengannya. Dia yang seringkali menimbulkan kengerian bahkan dalam diam sangat tak mungkin bahwa Mitsuki adalah pria biasa yang tak berdaya. Wajah tenang Mitsuki seperti menggambarkan nuansa gelap dan sorot matanya yang indah seperti sebilah pedang yang siap menyerang. Akan tetapi pria ini sama sekali tak terlihat memiliki kemampuan layaknya seorang petarung atau seseorang yang pandai berbuat kejahatan. Sarada menundukkan kepalanya sembari mengangkat kedua tangan Mitsuki. Tidak mungkin rasanya tangan selembut ini suaminya mampu mengangkat satu senjata pun untuk menyerang seseorang? Sarada hanya bisa berharap pada waktu yang bergulir untuk menjawab rasa takutnya.
"Kau mengantuk? Sebaiknya kau kembali tidur."
"Mana mungkin aku tidur saat kau berdiam diri disini?"
"Baiklah, akan ku temani kau di kamar."
💞
💞
💞
Mafia
💞
💞
💞
Sinar bulan masih setia menyinari saat sepasang manik gold menatap sebuah desa dari cabang pepohonan. Desa yang telah menjadi lautan api ini beberapa saat yang lalu mendapatkan serangan tak terduga. Ada banyak korban yang berjatuhan akibat kejadian ini.
"Tuanku, semua sudah dibereskan."Laporan Jugo hanya mendapatkan anggukan pelan. Mitsuki masih ingin menatap apa saja yang terjadi di sini. Cukup menarik karena kejadian seperti ini mulai sering terjadi bulan ini.
"Tapi masih ada banyak orang yang harus menerima salam sapaku."Ucap Mitsuki sambil menarik anak panah yang siap menancap seseorang di bawah sana.
Puluhan pemuda berlari menuruni bukit setelah menerima aba-aba darinya. Pekerjaan malam ini benar-benar merepotkan karena orang-orang itu sampai harus membumihanguskan desa ini.
"Kami siap menerima perintah selanjutnya."
"Segera tangani mereka yang terdampak dalam kejadian ini."
"Baik, tuan."
Mitsuki tersenyum penuh kemenangan. Dua atau tiga bidikan lagi, pekerjaan ini akan selesai. Desa ini telah berubah serba merah baik karena gejolak api maupun genangan darah. Langkah menghantarkannya ke tengah-tengah puluhan mayat yang bergelimpangan. Sesekali Mitsuki menatapnya jijik penuh kedengkian serta menendang beberapa dari mereka.
"Mereka pasti akan menyesal karena telah mengganggu ketenangan hidupku."
Langkahnya tak terhenti untuk melihat-lihat sepanjang situasi sepanjang desa ini. Disini ada banyak penduduk yang terbunuh dan salah satunya seorang anak laki-laki yang menimbulkan sakit dalam hatinya.
"Tuan, anak itu-"
Seketika Jugo dihadiahi lirikan yang sangat tajam dan mengerikan. Mitsuki selalu memerintahkan untuk tidak mendekati anak-anak dan perempuan. Dengan adanya mayat anak tersebut, maka apa yang mereka lakukan dianggap gagal. Mereka yang bertujuan untuk membebaskan tanah ini sangat merasa bersalah karenanya.
💞
💞
💞
Mafia
💞
💞
💞
Mendung menghiasi angkasa di pagi hari. Dengan awan hitam setebal itu, dipastikan hari ini diawali dengan hujan yang cukup deras. Hujan selalu membuat Sarada ingat pada masa kanak-kanaknya yang ia habiskan untuk bermain dan berlarian di ladang ubi dan jagung saat hujan turun. Ibunya tidak pernah melarangnya bermain hujan meski keesokan harinya demam mendera tubuh kecilnya. Suasana sejuk disertai aroma segar hujan yang mulai turun seketika membuatnya semakin rindu pada masa itu. Kemudian ia teringat akan kenangan buruk di masa sekolahnya. Semua orang mengejeknya karena ia adalah siswi terdekil dengan tubuh yang sangat kecil seperti anak yang kekurangan gizi. Saat itu ia masih SD tapi anak-anak di sekolahnya tumbuh layaknya anak-anak yang telah mengerti tentang urusan orang dewasa. Perundungan adalah hal biasa di antara mereka. Saat itu dirinya dihina bahwa anak dari seorang janda miskin tidak memiliki tempat yang layak di muka bumi. Sarada tidak mengerti, mengapa seorang anak manusia bisa berkata demikian sedangkan semua sederajat di hadapan Tuhan. Ada dua orang anak yang bertengkar di hadapannya. Satu adalah anak yang menghinanya dan satunya lagi yang membela. Anak itu adalah sahabat yang tak peduli pada status dan derajadnya . Sejak saat itu, Sarada sering sesumbar pada teman-temannya bahwa jika laki-laki di dunia hanya tersisa laki-laki yang miskin dan jahat, ia akan memilih mati karena hatinya hanya berpihak pada laki-laki baik yang kaya raya dan mau menjadikannya seorang istri lalu mampu mengubah hidupnya yang melarat menjadi serba berkecukupan. Mengingat hal itu membuat Sarada teringat dengan nasibnya saat ini. Kini ia telah menjadi istri seorang yang kaya raya yang memperlakukannya dengan baik. Sarada tersenyum masam menyadari ucapan itu telah menjebaknya ke rumah ini.
Disisi lain, Mitsuki sempat bermain dengan Mikatsuki setelah memberinya makan di dekat dapur. Pagi ini awan hitam bergulung-gulung namun udara begitu panas. Mitsuki sangat tidak menyukai udara panas yang seolah bisa membakar tubuhnya.
"Tuan, sepertinya hujan lebat akan turun."
"Benar, Kak Karin."
Selagi si kucing kecil sedang melingkar nyaman di teras belakang, Mitsuki memutuskan untuk duduk diam di sampingnya. Tempat ini berhadapan langsung dengan halaman yang lebih luas dari halaman di depan rumah. Perlahan udara dingin mulai mengusir rasa gerah lalu dilanjutkan dengan rintik hujan yang semakin banyak.
Jemari Sarada menuliskan sesuatu di kaca jendela yang berembun. Seperti kata orang, hujan selalu mampu mendatangkan berbagai kebahagiaan meski terkadang mampu mendatangkan rasa sedih. Ia tak tahu haru sedih atau senang saat air dari langit ini membasahi pelataran. Ia rindu suasana hujan di desanya, ia rindu bermain di ladang ubi milik ibunya dan senang karena ia telah berada di tempat yang lebih layak tanpa memikirkan kebocoran atap.
Yosh, jangan lupa vote dan komennya ya...🤩🤩🤩
Next...😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Mafia
FanfictionNew cover is in progress Temporary cover by ibis paint Hidup sengsara karena tekanan seseorang yang bahkan tak menyayanginya sebagai keluarga. Cobaan datang bertubi-tubi hingga akhirnya kebahagiaan datang dari sosok yang tak terduga. Ini adalah kis...