👻MDS 19 || Pembunuhan Terselubung

4.1K 503 10
                                    

Kereta yang melindas tubuh korban terus melaju cepat. Insiden itu tak dapat dihindari karena semua orang tahu bahwa kereta api tidak bisa berhenti mendadak. Kalau pun bisa, itu akan membahayakan penumpang di dalamnya.

Setelah kereta lewat, tepat di rel tersebut terpampang jelas tubuh korban yang kini sudah tidak utuh lagi. Kepalanya hancur bercucuran darah serta organ tubuhnya menyebar dimana-mana.

Sheina semakin mengeratkan cengkraman tangannya pada jaket Ryan. Ia hanya mampu menutup mulut. Ini adalah pengalaman pertamanya menyaksikan orang terlindas kereta. Jijik? Tentu saja.

"Lo kenapa?" Ryan mengalihkan pandangannya yang semula menatap rel.

"G-gue t-takut," jawab Sheina bergemetar. Wajahnya sudah pucat pasi.

Tanpa basa-basi Ryan yang melihat ekspresi Sheina langsung menuntunnya agar menjauh dari keramaian. Kebetulan ada kursi besi panjang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Ryan duduk di samping Sheina. Namun, ia merasa ada sesuatu yang salah ketika raut wajah Sheina menunjukkan rasa kesakitan.

"Ryan, badan gue sakit semua ...," rintih Sheina dengan nada pelan seperti berbisik. Ia memegangi kepala dengan tangan bergemetaran. Rintihannya semakin menjadi-jadi sampai beberapa orang meliriknya aneh.

"ARGHH!" Sheina terduduk di bawah dengan tumpuan lutut, ia tak sanggup menahan rasa sakit itu. Semua tulangnya seperti patah.

"Lo kenapa, Shen?!" Ryan tambah panik, dia bingung harus berbuat apa. Maka ia mengeluarkan sebotol air mineral dan memberikannya pada Sheina.

"Minum dulu."

"Ga bisa, Ryan. Lo gatau, gue punya synesthesia."

Alis Ryan mengernyit, ia tak paham maksud Sheina. Mulutnya hendak melontarkan pertanyaan, tapi suara gaduh kembali terdengar.

Beberapa orang berseragam polisi segera mengamankan jasad korban dan memastikan tidak ada yang mendekati TKP atau tempat kejadian perkara.

Suara pengumuman pun menghentikan setiap aktivitas orang-orang yang berada di sana, semuanya terdiam menyimak pengumuman.

"Telah kita ketahui, bahwa baru saja terjadi kecelakaan. Maka dari itu, harap bersabar menunggu kereta lain dan jangan ada yang pergi dari stasiun ini. Terima kasih atas perhatiannya."

Setelah beberapa detik pengumuman itu, pandangan Ryan kembali ke arah Sheina. Seluruh tubuh Sheina berkeringat meskipun ia sudah agak tenang, tetapi napasnya belum teratur.

"Kita pulang aja, gue takut sakit lo nambah parah."

Lantas Ryan membantu Sheina bangkit walaupun keadaannya belum stabil. Namun menurut Ryan, pulang ke rumah adalah pilihan terbaik. Lagipula menjalankan misi itu bisa besok saja.

Tiga orang polisi yang berjaga di pintu keluar mencegah Ryan dan Sheina agar tak keluar dari stasiun sesuai pengumuman tadi.

"Maaf, kalian tidak boleh keluar stasiun dulu," ucap salah satu polisi.

"Kenapa? Temen saya lagi sakit," balas Ryan sedikit emosi.

"Kami tidak bisa memberitahu alasannya, intinya Mas sama Mba tunggu saja."

"Bapak ga liat temen saya mukanya pucat begini?!" Nada bicara Ryan mulai tinggi, sekarang ia benar-benar emosi. Bagaimana bisa seseorang yang lagi sakit malah tidak diizinkan pulang? Lagipula untuk apa berada di stasiun?

•••👻•••

"Hufft." Sheina menghela napas sambil menatap lekat-lekat pantulan wajahnya di cermin.

Kini ia berada di toilet stasiun. Setelah keributan antara Ryan dengan para polisi, terpaksa Ryan mengalah daripada terjadi pertengkaran yang lebih hebat.

Tubuh Sheina sekarang sudah normal kembali, beruntung ada Ryan yang membantunya. Sheina melepaskan kuncir rambutnya, lalu mengambil tisu untuk mengelap wajahnya.

"Eh apaan itu?" Tangan Sheina terulur untuk membuka plastik berwarna hitam di tempat sampah. Rasa penasarannya terhadap benda itu lebih besar dibandingkan rasa jijiknya pada tempat sampah.

"Jas? Punya siapa?" Lagi-lagi Sheina hanya bertanya kepada dirinya sendiri.

Drrttt ....

Ponsel Sheina bergetar, tertera nama Ryan di layar.

"Lo dimana? Ke kamar mandi lama amat anjir. Cepet ke sini."

Tanpa berniat menjawab, Sheina segera berlari ke luar menghampiri Ryan yang kebetulan sedang bersandar di dinding dekat toilet.

"Ada apaan nyuruh gue cepet-cepet keluar?"

"Lo ga liat? Itu si bapak yang ada kumisnya nyuruh kita ngumpul dulu, gatau buat apaan," jawab Ryan sembari menunjuk seseorang.

Bola mata Sheina mengikuti arah jari telunjuk Ryan yang tertuju pada seorang lelaki paruh baya berseragam polisi. Sheina dapat menduga bahwa pangkatnya adalah Inspektur Jenderal Polisi atau disingkat IRJEN. Ia tahu hal itu dari lambang pangkat yang dimiliki oleh lelaki tersebut adalah dua bintang berwarna emas.

Namun, mengapa seseorang yang berpangkat IRJEN mau menangani kecelakaan begini? Bukankah dia bisa menjadi pemimpin tertinggi kepolisian daerah atau Kapolda?

~~~~


IRJEN Gerald E. Pradigta, itu namanya. Lagi-lagi Sheina hanya mampu mengetahui namanya dari seragam yang ia kenakan.

"Diharapkan semuanya berkumpul di sini karena ada informasi penting dari pihak kepolisian."

Sekali lagi pengumuman yang berasal dari megaphone terdengar. Keadaan menjadi riuh lagi.

Setelah menenangkan para pengunjung yang semula berisik karena aktivitas mereka terhambat, kini semuanya telah diam.

Sheina juga tahu apa yang mereka rasakan, sedari tadi dia mendengar caci maki orang-orang yang kesal terhadap aturan polisi.

"Maaf kalau menganggu aktivitas kalian, saya hanya butuh kerjasama kalian di sini untuk ...." Ucapan Inspektur Gerald terpotong sebab seseorang ada yang protes.

"Pak, kami punya kesibukan masing-masing. Anda ga bisa seenaknya begini. Apalagi saya sendiri ga ada hubungannya sama kecelakaan ini."

"Ya, saya tau. Tentu saya punya alasan mengapa mengumpulkan semua pengunjung, itu karena ...."

"Pelakunya masih ada di sini."


©MEREKA DI SINI

Sabtu, 02 Oktober 2021. Pukul: 06.10

By: mxgis_

MEREKA DI SINI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang