"Meninggal."
Damn!
Ryan merasakan tubuhnya seperti terjatuh dari lantai 30 apartement. Jantungnya mencelos, napasnya terjeda, serta matanya masih tak berkedip.
Ia seketika menyesal mengapa kemarin tidak masuk sekolah, malah membantu Sheina menjalankan misi konyolnya. Sekarang, lihat apa yang terjadi. Seorang teman satu angkatannya memberi kabar buruk.
"Jangan bercanda," ancam Ryan disertai tatapan mengintimidasi. Ia meraih kerah baju orang itu.
"G-gue serius. Kalo lo ga percaya, liat ke laboratorium," sahutnya terbata-bata, ibu jarinya menunjuk-nunjuk ke satu tempat yang ramai didatangi oleh para murid.
Bergegas Ryan mempercepat langkahnya, bahkan ia tak mempedulikan keberadaan Sheina lagi. Hanya satu tempat yang menjadi tujuan. Laboratorium.
Di sana cukup ramai, para murid sepertinya penasaran apa yang sedang terjadi hingga menciptakan kerumunan sampai ke pintu.
"Minggir!" seru Ryan berusaha melewati kerumunan murid-murid lainnya. Ia mendorong paksa beberapa orang yang berani menghalangi.
"Sebaiknya lo jangan liat," pinta salah seorang dari mereka.
Emosi Ryan memuncak, "awas!" Ia berhasil masuk. Tatapan yang sebelumnya dipenuhi emosi, tiba-tiba berubah jadi terkejut. Matanya terbelalak begitu mengetahui objek yang menyebabkan kerumunan.
Gadis yang sangat ia kenali terbujur kaku di lantai. Seragam putih yang dikenakan berubah merah karena terkena darah. Sebuah pisau menancap tepat di dada.
Ryan tak bergeming. Diam membisu menatap Febby—pacarnya. Kepalan tangannya mengendur. Ingin rasanya menangis, tapi ia mampu menahannya.
Selama beberapa menit Ryan berdiri. Telinganya seolah tak dapat mendengar apapun. Seluruh organ tubuhnya seakan berhenti berfungsi.
"Untuk murid-murid, diharap jangan memotret di TKP dan cepat masuk ke kelas masing-masing." Bunyi loudspeaker dari Mr. Jhon—guru bahasa Inggris—membuyarkan gerombolan orang tadi. Tersisa Ryan dan tentunya Sheina juga.
"Kalian kenapa masih di sini? Polisi sebentar lagi mau datang, ga boleh ada seorang pun di TKP. Cepat ke kelas," perintah guru berpenampilan rapi dengan kemeja biru tersebut.
Hening. Kedua orang itu sama sekali tidak menuruti perintah Mr. Jhon, malah diam memperhatikan korban.
"Ryan! Sheina!" serunya untuk kesekian kali.
Sheina lebih dulu tersadar, ia langsung menarik Ryan keluar laboratorium. Tangan pria itu agak dingin. Namun, Sheina membawanya ke rooftop, bukan kelas.
Ryan masih terdiam, memandang lurus ke arah lapangan. Ia menggendong ransel hitam di bahu kanan.
"Kalo mau nangis ya silakan, jangan ditahan. Itu tujuan gue bawa lo ke sini, biar lo bisa tenang," ucap Sheina diiringi senyum tipis. Ekor matanya juga dapat melihat mata Ryan yang berkaca-kaca.
"Gue ga selemah itu," lirih Ryan. Nada bicaranya lebih rendah.
"Menurut lo, orang yang sering nangis itu berarti lemah?"
Tak ada tanggapan.
Sheina melanjutkan ucapannya karena merasa tidak ada tanda-tanda Ryan akan menjawab.
"Kalo lo mikir gitu, berarti pikiran lo salah. Orang yang nangis belum tentu dia lemah, justru dia orang kuat yang selama ini nutupin kesedihannya sendiri. Sesekali nangis gapapa, asal jangan keseringan." Senyum Sheina terus mengembang, mencoba menghibur Ryan. Ia mendekati lelaki itu perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREKA DI SINI [TAMAT]
HorrorSheina Arsilia, gadis SMA yang terpaksa tinggal sendiri di rumah pemberian sang paman. Setiap hari ia lewati bersama 'mereka'. Peristiwa mengerikan dimulai ketika ia dan Rey-kakaknya-memutuskan untuk mencari keberadaan ayah mereka yang sudah menghil...