👻MDS 41 || Titik Terang

3.4K 442 4
                                    

"Terima kasih, Neng. Hati-hati turunnya," ucap supir bus ketika Sheina memberikan uangnya. Jarang sekali ada supir bus yang ramah begini, apalagi tadi sudah mengajak Sheina mengobrol selama perjalanan.

Sheina mematri langkahnya untuk membaca tulisan di plang atau papan nama di depan.

Praktek Dokter Umum Alena Yelvita.

Tak salah lagi, ini tempat yang menjadi tujuan Sheina dan harapan terakhirnya.

Ia membuka pintu perlahan. Dari tempatnya berdiri, sudah terlihat seorang wanita tengah sibuk menata beberapa dokumen di atas meja kerjanya. Diperkirakan wanita itu berusia sekitar 30 tahun, tapi wajahnya masih awet muda seakan baru berumur 20-an.

"Permisi, saya mau ketemu dokter Alena," sapa Sheina seramah mungkin.

Wanita itu mengalihkan pandangan ke arah Sheina, lalu tersenyum. "Oh, Sheina! Saya Alena, masa lupa?"

"Ada apa datang ke sini?"

Gadis yang memiliki rambut hitam kecoklatan itu menggigit bibir bagian bawahnya tatkala Alena bertanya. Ia ingin sekali langsung to the point, tapi mengapa mulutnya seolah tak mau terbuka?

"Kamu pasti capek ya? Duduk dulu sini," tawar Alena sembari merapikan kursi di depan mejanya.

Sekarang posisi mereka sudah berhadapan seperti pasien yang bertemu dengan dokter dan ditanyai mengenai keluhannya.

"Sebenernya ... saya cuma mau tanya tentang Bang Rey, dia ga ada kabar kurang lebih selama seminggu ini. Barangkali dia hubungin Dokter Alena, makanya saya dateng ke sini."

Mereka saling bersitatap sekejap. Dari mata Sheina, dapat terlihat bahwa ia sangat berharap pada Alena hingga tatapan itu membuat Alena jadi tidak enak kalau menjawab 'tidak tahu'.

"Kenapa dia bi—" Ucapan wanita berambut cokelat sebahu itu terhenti begitu seseorang memasuki tempat prakteknya dan mengalihkan atensi kedua perempuan yang tadi tengah mengobrol.

Orang yang menjadi pusat perhatian tersebut tersenyum canggung. "Permisi," ujarnya pelan setelah membuka pintu.

"Oh, kamu yang kemarin, ya?" Alena ikut berdiri.

"Iya. Dokter lagi ada pasien? Saya tunggu di luar aja, takut ganggu."

"Dia bukan pasien. Kamu bisa tunggu di sini." Alena mempersilakan orang tadi untuk duduk di kursi putih yang berada tepat di sebelah kanan Sheina.

Selanjutnya, Alena memperkenalkan orang itu pada Sheina yang jelas-jelas sudah ia ketahui namanya. "Sheina, kenalin, dia namanya Rangga. Dia ke sini karena ada tugas dari kampusnya dan mau nanya seputar kedokteran."

Cowok berambut hitam itu sama kagetnya dengan Sheina ketika secara tak sengaja bertemu lagi setelah di halte bus tadi. Ia tersenyum tipis, kemudian kembali memandang lurus ke arah Alena.

"Rangga, saya mau ngobrol sebentar sama Sheina dulu, ya," lontar Alena tanpa mengurangi rasa sopannya.















####




















Setelah hampir 20 menit Sheina menceritakan semua kejadian yang dialaminya dalam kurun waktu dua minggu terakhir kepada Alena, akhirnya sekarang ia berhenti berbicara dan menunggu respon lawan bicaranya.

Sheina tak peduli pada Rangga yang mungkin mendegar semua curahan hatinya. Ia tidak mau berpikiran buruk di kondisi seperti ini.

"Jadi dia udah menghilang tanpa kabar selama kurang lebih dua minggu?" Alena bertanya seraya menopang dagu menggunakan kedua tangannya, mungkin posisi begitu bisa membantunya dalam berpikir.

Sheina mengangguk sebagai jawaban.

"Kamu pernah teleponan sama dia? Kita bisa lacak dari situ," saran Alena.

Sayangnya saran itu dibalas gelengan kepala oleh Sheina.

"Dia bener-bener ga kasih tau alamatnya, ya? Bakal susah sih carinya. Tapi saya pasti bantu kamu. Kebetulan teman saya ada yang kerja jadi polisi, saya bisa minta tolong ke dia untuk cari Rey."

Entah kenapa kalau mendengar kata 'polisi', Sheina sudah tak percaya lagi. Ia lelah terus berurusan dengan polisi. Maka dari itu, ia ingin masalah kali ini diselesaikan sendiri.

"Kalau dokter ga bisa bantu saya, gapapa. Saya izin pamit, maaf kalau mengganggu waktunya." Sheina bangkit usai pamit begitu saja. Namun, Alena mencegah Sheina dengan cara memegang tangan gadis itu dan menyuruhnya duduk kembali karena masih ada hal yang ingin ditanyakan.

"Kamu sekarang tinggal sendirian?" tanya Alena.

Sheina mengangguk untuk kesekian kali.

"Mau saya telepon paman kamu? Lebih baik kalau kamu tinggal bersamanya."

Secepat mungkin Sheina menolak tawaran Alena. Ia pikir itu bukan ide yang bagus sebab ia tak terlalu dekat dengan pamannya atau mungkin seluruh keluarganya.

"Tinggal sama saya mau? Walaupun rumah saya ga terlalu besar, tapi tempatnya cukup untuk kita berdua. Masalah biaya sekolah, kamu ga perlu mikirin itu."

Lagi-lagi Sheina menggeleng, padahal saran barusan berbeda dari sebelumnya. Ditambah lagi Alena mau membayarkan biaya sekolahnya dan juga kebutuhan sehari-hari.

"Saya di rumah saja," ujar Sheina.

Alena menghela napas. Ternyata sesulit ini membujuk seorang gadis remaja yang masih labil.

"Oke, saya terima keputusan kamu. Sepulang kerja saya mampir ke rumah kamu ya."
















°•°•°•°





















"Sheina!" Seseorang memanggil Sheina hingga gadis itu terpaksa menoleh ke sumber suara.

Sheina berdecak sebal. "Cih, dia lagi."

Tepat di hadapannya sudah berdiri lelaki yang hari ini bertemu dengannya di dua tempat sekaligus.

Rangga mengatur napas sejenak usai berlari dari tempat praktek, lalu menjelaskan tujuannya memanggil Sheina.

"Tadi gue sempet denger obrolan lo. Pas gue tau nama lo Sheina, gue langsung keinget sesuatu."

"Apa?" tanya Sheina sembari memalingkan wajah ke arah jalanan yang ramai dilalui kendaraan.

"Tentang Rey."

Jawaban Rangga mampu membuat Sheina terkejut sesaat, namun ia menyadari satu hal.

"Paling lo tau Rey karena denger obrolan gue sama dokter Alena, 'kan?"

"Ngga. Gue kenal Rey."


















©MEREKA DI SINI

Selasa, 29 Maret 2022. 16:15.

Selamat berpuasa bagi yg menjalankan. Maap, baru ngucapin nih :") 🙏 Semoga puasanya bisa full sebulan ya dan sehat-sehat terus.

MEREKA DI SINI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang