Karina berhenti berlari ketika memasuki area perkemahan. Lalu perlahan mendekati teman-temannya yang menatap ia keheranan.
Ia lebih memilih untuk memberitahukan peristiwa barusan pada yang lain, daripada memendamnya sendirian. Nanti kalau Sheina terjadi apa-apa, siapa yang mau tanggung jawab?
"Guys, tadi gue sama Sheina ke—" Karina mengatur napas sambil merapikan rambutnya yang berantakan akibat berlari. Sementara yang lainnya menunggu ia agar melanjutkan cerita.
"Kemana?" tanya salah satu murid.
"Ke sumur deket sini. Tapi dia tiba-tiba lari masuk ke hutan. Gue ga tau kenapa."
Sontak keadaan menjadi ricuh. Mereka pun khawatir dengan Sheina. Beberapa ada yang menyarankan untuk melapor ke guru, tapi ada yang ingin mencari Sheina tanpa bantuan guru. Sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa Sheina dibawa oleh makhluk astral. Tidak logis!
Akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan pemungutan suara. Hanya ada dua opsi; melapor ke guru atau pergi mencari Sheina lalu membawanya kemari.
Caranya mudah, mereka cuma mengangkat tangan saja. Jika hasilnya sama, maka akan dilakukan vote ulang. Namun, nyatanya tak segampang itu. Di tengah-tengah musyawarah, ada saja yang menolak. Menurutnya, buat apa membantu orang lain yang sudah menghancurkan liburan mereka? Lagipula Sheina tidak terlalu penting.
Perdebatan semakin memanas, hingga salah seorang dari mereka mengajukan dirinya untuk mencari Sheina. Sendiri, tanpa bantuan yang lain.
"Gue aja yang nyari dia," usul Ryan. Tak ada keraguan dari wajahnya. Kalau menunggu debat selesai, bisa-bisa Sheina di hutan sampai pagi.
"Lo serius?" Temannya bertanya.
Ryan mengangguk mantap. Kemudian ia merebut senter yang sebelumnya berada di tangan Karina.
"Hati-hati," ucap yang lainnya hampir bersamaan ketika Ryan mulai lari menjauhi perkemahan.
•°•°•°•°•°•
Sheina menapakkan kaki di dekat semak belukar, memastikan kalau orang yang ia lihat tadi ada di sana atau tidak. Namun, nihil. Lagipula, tidak ada orang yang masuk ke hutan malam-malam begini selain Sheina. Terlebih lagi di sana juga gelap, Sheina hanya mengandalkan senter dari ponsel.
Gadis berjaket tebal plus rambut terurai itu hendak berbalik arah sebelum tepukan di bahu memaksanya untuk tetap berdiri di sana. Sheina enggan menoleh ke belakang, entah sejak kapan ia jadi pengecut begini.
Jangan-jangan, orang itu yang menepuk bahunya?
"Shen," panggil seseorang dengan nada pelan. Napasnya memburu. Tangannya masih berada di bahu Sheina.
"Lo ngapain?" tanya Sheina setelah memberanikan diri untuk berbalik. Cahaya senternya menyorot tepat di wajah Ryan, membuat lelaki itu menghalangi cahayanya yang menyilaukan menggunakan satu tangan.
Tanpa aba-aba, Ryan menoyor kepala Sheina. Kesal! Kalau bukan karena Sheina, pasti sekarang ia sedang bersenang-senang di perkemahan. Ya, meskipun itu keputusan ia sendiri untuk mencari Sheina.
"Gue yang harusnya nanya, lo ngapain? Masuk ke hutan sendirian."
"Tadi gue liat ada orang yang ngikutin gue sama Karina ke sumur. Tapi pas gue ga sengaja ngeliat dia, eh dia malah lari, yaudah gue kejar." Sheina akhirnya jujur.
Ryan membuang napasnya frustasi. Apa ia harus seperti emak-emak yang mengomeli anaknya karena bermain terlalu jauh?
"Sekarang orang yang ngikutin lo udah ga ada, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREKA DI SINI [TAMAT]
HorrorSheina Arsilia, gadis SMA yang terpaksa tinggal sendiri di rumah pemberian sang paman. Setiap hari ia lewati bersama 'mereka'. Peristiwa mengerikan dimulai ketika ia dan Rey-kakaknya-memutuskan untuk mencari keberadaan ayah mereka yang sudah menghil...