Gulungan awan putih menghiasi langit ibukota Jakarta. Tidak ada sinar matahari yang menyilaukan seperti biasa.
Sekumpulan orang berbaris rapi di lapangan SMA Pertiwi untuk melakukan upacara. Mereka tahu, ini bukan hari Senin. Upacara kali ini juga terasa berbeda. Tak ada semangat dari para murid atau guru.
Ryan, lelaki itu melangkah lesu menuju barisan kelas 12. Di bibirnya tak terlihat guratan senyum atau setidaknya tatapan mengintimidasi seperti hari-hari biasa. Sekarang, baju putih yang dibalut jaket hitam plus celana hitam nampak rapi dikenakan. Sangat berbeda drastis.
Ia telah sampai di bagian paling depan. Sengaja ia memilih posisi itu agar dapat menyaksikan dengan jelas upacara penghormatan untuk Febby. Kalau upacara biasa, tentu seringkali ia bolos. Mungkin hanya beberapa kali saja ia mengikuti upacara di hari Senin, itupun tidak serius.
Namun, kini semua tampak beda.
Ryan menghirup napas dalam-dalam. Ternyata berdiri di barisan depan tidak terlalu buruk, apalagi masih pagi. Udara di sekitar belum tercemar, embun pun masih menempel pada dedaunan seakan enggan 'tuk turun.
Kejadian kemarin terekam jelas di otak Ryan. Pembunuhan, jasad Febby, diary, Nara, dan masih banyak lagi. Sampai-sampai semua itu terbawa ke mimpi.
Satu hal yang sangat Ryan sesalkan; menolong Sheina menjalankan misi. Anggap saja waktu itu Ryan sedang gila karena menerima tawaran Sheina. Tapi, berkat Sheina juga pelakunya bisa tertangkap. Mau bagaimanapun, Ryan harus berterima kasih.
"Tumben si Ryan di depan. Biasanya kalo upacara selalu di belakang, bahkan sering bolos."
"Eh iya, fenomena langka nih. Terus bajunya rapi banget, 'kan kalo sekolah biasa berantakannya minta ampun."
"Mungkin karena ini upacara spesial buat pacarnya kali."
Suara bisik-bisik itu terus terdengar walaupun Ryan sudah mencoba untuk tidak menghiraukan. Tangannya mengepal, ingin sekali melayangkan pukulan ke arah orang-orang yang menjadikannya bahan ghibahan, namun Ryan menahan rasa kesal itu sendiri. Ia lebih memilih diam, memasukkan kedua tangannya ke saku jaket.
Angin berembus menerbangkan helai rambut Ryan yang hampir menyentuh alis. Lalu berhenti ketika suara microphone menyala.
"Perhatian. Diharapkan kepada seluruh murid maupun staff sekolah untuk bergegas ke lapangan karena upacara sebentar lagi akan dimulai."
Selama 3 menit keadaan hening. Setelahnya suara microphone kembali terdengar. Kali ini upacara benar-benar telah dimulai. Meskipun susunan acaranya hanya sedikit.
Kepala sekolah maju mendekati mic. "Selamat pagi, saya selaku kepala sekolah SMA Pertiwi hanya ingin menyampaikan sepatah dua patah kata. Seperti yang kalian ketahui, salah satu murid kelas 12 MIPA 3 kemarin meninggal dan akan dimakamkan siang ini. Kami, seluruh guru turut berdukacita, semoga pelaku pembunuhannya mendapatkan hukuman setimpal dan semoga keluarga tabah menghadapi cobaan yang amat berat ini. Selanjutnya saya serahkan pada wali murid untuk memberikan pesan."
Seorang wanita yang kira-kira berusia 30 tahun berjalan dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Ia mengambil alih mic.
Orang yang sangat Ryan kenal, yaitu ibu kandung Febby.
Wanita itu menenangkan dirinya terlebih dahulu, kemudian berbicara. "Selamat pagi. Saya orang tua dari Febby Syaqira, salah satu murid SMA Pertiwi. Di sini saya ingin meminta maaf apabila anak saya banyak melakukan kesalahan atau pernah melanggar peraturan sekolah. Sekali lagi saya minta maaf. Saya juga mau minta tolong pada kalian untuk mendoakan Febby, semoga dia tenang di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREKA DI SINI [TAMAT]
HororSheina Arsilia, gadis SMA yang terpaksa tinggal sendiri di rumah pemberian sang paman. Setiap hari ia lewati bersama 'mereka'. Peristiwa mengerikan dimulai ketika ia dan Rey-kakaknya-memutuskan untuk mencari keberadaan ayah mereka yang sudah menghil...