Matahari akan tenggelam beberapa saat lagi, namun Lia tidak kunjung mendapat tumpangan atau jemputan. Apakah mungkin Mama lupa menyuruh supir untuk menjemputnya? Jika benar begitu, Lia ingin berlari saja dari sini sampai kerumah. Tapi mengingat malam yang akan datang sebentar lagi, membuat Lia meringis saat mengingat betapa seramnya ujung perrumahannya.
Saat tengah duduk manis didepan gerbang sekolah yang sudah tertutup, Lia memejam saat merasakan tepukkan pada bahunya. Perlahan dengan pasti wangi alkohol menyeruak memenuhi rongga hidungnya, dan benar saja saat Lia menoleh dengan perlahan dia mendapati dua sosok preman berotot kekar tengah dalam keadaan mabuk.
MAMA! Lia menjerit dalam hati saat dua preman itu duduk didua sampingnya, memainkan rambutnya yang tergerai bebas tanpa mengenal siapa sang empunya.
Lia memejam, merasa takut pada keadaan yang menyekiknya secara perlahan. Dengan sayatan yang tajam yang sangat berpadu dengan langit yang mengelam. Bau alkohol yang menyeruak membuat Lia memekik tertahan, ditambah dengan semilir angin yang berhembus sedikit kencang membuatnya seakan ditambahkan dengan keberanian yang langsung membuatnya berdiri dan lari sejauh mungkin.
Sesekali Lia berlari dengan menoleh kebelakang hanya untuk memastikan bahwa dua preman pemabuk itu tidak mengejarnya. Angin hujan seakan membuatnya kalut bukan main.
Lia memekik saat semakin dia berlari, dia semakin dekat dengan preman itu. Bahkan yang menakutkannya lagi dia merasakan hidungnya kembali mengeluarkan darah segar, dan kepalanya mulai memusing. Otomatis laju larinya mulai melambat, matanya mulai mengabur. Tapi pikirannya kembali saat hujan datang dan membuat semuanya seakan langsung didera oleh kebutaan. Dalam keburaman itu, Lia menyempatkan diri untuk menoleh kebelakanh dan memastikan bahwa preman itu masih atau hilang dari belakamg tubuhnya.
Saat tengah sibuk menoleh kebelakang, Lia tanpa sadar menabrak seseorang yang tengah berdiri sambil menatapnya dengan tatapan nelangsa.
"Aduhh.." rintih Lia perlahan, saat dia hendak mundur beberapa langkah untuk meminta maaf, Lia merasakan tubuhnya ditarik kedepan dan semakin dekat dengan sang empu didepannya dan merasakan hembusan nafas yang tak karuan.
Dalam kesadaran yang sepenuhnya belum hilang, Lia mengusap matanya yang terkena air hujan yang turun dari langit. "Johan..." dan setelah mengatakan itu, semuanya mengelap dan hilang seketika semua suara hujan yang memekikkan telinga sebelumnya.
(○'ω'○)
Hujan perlahan-lahan mulai hilang, arumi petrikor yang menyeruak meskipun saat ini dia tengah berada didalam mobil, tidak membuatnya bisa terbebas dari wangi meneduhkan setelah hujan datang.
Johan Aledran Adinaya menatap wajah Karina Miftahul Lianti yang terpejam dengan tangan yang masih setia memegang sebuah sapu tangan yang memerah karna darah. Bukan tatapan jijik atau muak, melainkan tatapan nelangsa karna tidak pernah bisa untuk selalu ada.
Johan tau dengan sangat betul, bagaimana Lia memperhatikannya. Dan apa yang dia berikan? Hanya sebuah acuhan yang selalu saja dia tampilkan. Berulang kali dia berusaha perduli, tapi mengingat betapa dekatnya Lia dengan Reno membuat Johan enggan untuk maju lebih dekat dan menghancurkan hubungan yang Lia dan Reno jalin selama ini. Johan terlalu takut untuk menyakiti salah satu dari Lia atau Reno. Jadi oleh sebab itu, Johan memilih untuk membuat jarak dengan Lia. Karna dia tahu, seberapa cinta Reno dengan Lia. Dan Johan tidak ingin menyakiti sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
{1} Penyesalan | Lee Jeno✔ [REVISI]
Fanfiction"Apa yang bisa dilakukan pengagum, selain meratapi sebuah rasa yang meranum?" -Lia "Seberapa pun bosannya lo hidup, gue harap lo nggak pernah ninggalin gue, Li." -Johan tentang sebuah rasa yang tak akan berbalas dengan rasa kembali. Juga tentang pen...