Harusnya dipagi-pagi yang cerah ini semua orang menghirup aroma embun pagi yang segar, tapi lain halnya dengan Johan yang berjalan memasuki pagar rumahnya dengan rasa sakit yang menjalar diseluruh tubuhnya. Dengan sialannya tadi malam dia dikeroyok dan dihajar habis-habisan oleh beberapa anak-anak The Bellond'z. Meskipun anak anak The Bellond'z itu terdiri dari segerombolan anak Sekolah Menengah Pertama, tapi kalau mereka datang dengan banyak jumblah, yaa Johan kalah karena dia seorang diri. Bayangkan saja, dia harus melawan sekitar dua puluh anak The Bellond'z yang hilang satu tumbuh lima yang baru. Udahlah kalau mengingat kejadian semalam membuat dia dendam saja. Dia pastikan seminggu dari sekarang, The Cezanne akan menyerang The Bellond'z dan mengungkap semuanya.
Baru saja Johan ingin membuka pintu, pintu sudah terbuka dan menampilkan Danu dengan setelan kemeja kerja yang rapih. "Johan. Kamu kenapa?" Ujar Danu terdengar sangat khawatir.
"Bukan urusan Ayah."
Johan berlalu masuk mengabaikan banyaknya panggilan Helmahera yang mencoba ingin mengobatinya. "Johan!"
"Apa lagi sihh?!" Johan langsung berbalik dengan kasar hingga membuat rasa nyeri disudut bibirnya kembali menyerang. Laki-laki itu merintih samar. Dia kembali melanjutkan langkahnya membuat Danu langsung mengejarnya dan masuk kedalam kamar Johan mengikuti anak laki-lakinya itu.
"Johan coba jelasin sama Ayah kamu kenapa?" Danu melihat luka sayatan yang cukup panjang dipunggung Johan. Seperti luka sayatan pisau.
"Diserang." Johan menaruh kaus hitam yang terdapat banyak darah kedalam keranjang pakaian kotor.
"Sama siapa?" Danu mulai menghampirinya dan menolongnya yang kesusahan membuka kaus dalam.
"Siapa lagi kalau bukan komplotan anak baru Ayah?!" Johan kesal bukan main.
Ingin sekali Danu mengeplak kepala Johan. Tapi melihat bagaimana Johan merintih dengan tangan yang memegangi kepalanya, membuatnya urung melakukan itu. Dia memilih mengambil kotak P3K didalam laci. "Ayah kayanya harus kerja sama, sama bapaknya Jafian ya." Danu membuka tutup obat merah dan menuangkannya diatas kapas.
Johan menatap Danu tidak suka. "Apa sihh cupu banget, cepu sama orang tua." Danu menatapnya dengan raut tanda tanya. "Ini urusan anak muda. Orang tua nggak usah ikut campur. Johan udah gede, Johan bisa nyelesaiin masalah sendiri.
Zaman sekarang kalo kita cepu sama ortu, bukan masalah yang kelar malah saling menghancurkan." Danu hanya bisa menghela nafas lelah."Kamu itu anak Ayah. Ayah nggak bisa biarin kamu pulang penuh luka-luka kaya gini. Lagi, setiap orang tua pasti nggak akan terima kalau liat anaknya terluka. Memang laki-laki nggak akan pernah dianggap pria kalau belum ngerasain sakitnya luka, tapi orang tua mana yang tega liat anaknya kesakitan cuma karna zaman yang memaksa semua anak muda buat ngerasain luka?"
Johan langsung terdiam, menatap pantulan Danu yang tengah mengobati punggungnya, dari pantulan cermin yang berada dihadapan. Johan tersenyum tipis. "Kalau orang tua sendiri yang memaksa untuk kita ngerasain sakitnya luka, dan memaksa kita untuk dewasa dan mengerti keadaan dimana seharusnya anak seumuran kita bermain dan bersenang-senang. Gimana Yah?" Kali ini Danu yang terdiam, laki-laki yang sudah berkepala empat itu mengusap hidungnya untuk menetralisir suasana yang sedikit canggung ini.
"Ayah mau ketemu infestor dari Singapura kamu mau nitip apa?"
Kentara sekali Danu tengah mengalihkan pembicaraan. Johan tersenyum kecut, dia meringis dalam hati. Ternyata luka yang ada ditubuhnya tidak sebanding dengan luka dihatinya.
Tapi saat saat Danu menanyakan hendak menitip apa, sebenarnya ini tidak boleh disia-siakan. Jadi Johan berpikir, sebenarnya hanya untuk mengalihkan rasa sakit dihatinya. Dia akhirnya memilih.
KAMU SEDANG MEMBACA
{1} Penyesalan | Lee Jeno✔ [REVISI]
Fanfiction"Apa yang bisa dilakukan pengagum, selain meratapi sebuah rasa yang meranum?" -Lia "Seberapa pun bosannya lo hidup, gue harap lo nggak pernah ninggalin gue, Li." -Johan tentang sebuah rasa yang tak akan berbalas dengan rasa kembali. Juga tentang pen...