22. Bunda

24 5 0
                                    


Ayah tidak akan pernah tau, bahwa sudah satu minggu lamanya dia mencoba untuk membiasakan diri dengan tidak adanya Bunda disampingnya. Seperti pagi yang sedikit mendung ini, Ayah berdiri didepan cermin memandang pantulan dirinya dengan dasi yang belum terpasang rapih. Biasanya Bunda akan selalu memasangkan dasi yang berwarna selaras dengan jasnya. Tapi sekarang Ayah harus terbiasa memasang dasinya sendiri, tanpa Bunda tanpa senyuman Bunda.

Setelah memasang dasi dan memakai jas hitam, Ayah keluar. Saat kaki Ayah mendarat sempurna dilantai setelah melewati tangga, Ayah mendengar suara panci yang diletakkan diwastafel. Ayah tersenyum dan berlari.

Sebuah ilusi tercipta, Bunda tengah berada didalam sana dengan apron berwarna cokelat yang melekat untuk melindungi baju Bunda.

Namun saat Ayah sampai diambang pintu, senyumnya langsung memudar. Tidak ada Bunda, yang ada hanya Johan yang tengah menatapnya dengan senyum tipis yang menghiasi wajah tampan anaknya.

"Ayah udah bangun?" tanya Johan. Ayah membalasnya dengan tersenyum tipis, berjalan kearah Johan dan memeluk anak laki-lakinya dengan dekap yang haru. "Ayah. Ayah kenapa?" Johan jelas kebingungan, tapi saat Ayah mengusap lembut bagian belakang kepalanya. Johan mengerti, Ayah pasti merindukan Bunda.

Sangat kentara dari wajah Ayah yang terkesan sangat berharap bahwa yang berdiri disini adalah Bunda. Jujur Johan juga merindukan Bunda.

"Maafin Ayah. Maafin Ayah.." ujar Ayah dengan nada yang menyedihkan dan isak tangis yang penuh dengan penyesalan. "Harusnya Ayah yang susul Bunda. Harusnya Ayah bisa ngeluangin waktu buat Bunda. Harusnya Ayah nggak biarin Bunda keluar rumah hari itu. maafin Ayah.. gara gara Ayah kamu jadi kehilangan Bunda... maafin Ayah." Lanjut Ayah dengan air mata yang menetes membasahi pundak Johan. Johan mengusap air matanya yang hendak menetes.

"Semuanya udah terjadi Yah. Nggak ada yang bisa ngelawan garis takdir Tuhan. Bunda pergi juga bukan salah Ayah. Kita harus bisa nerima takdir'kan?" Johan mengusap punggung Ayah dengan satu tangan.

********

Johan mematikan televisi yang tengah menyala, membosankan sekali duduk dirumah sendirian. Mungkin ini yang dirasakan Bunda saat Bunda belum membuka toko Butik. Setelah semuanya telah bersih dan rapih, makan Bunda juga akan merasa bosan.

Johan merebahkan tubuhnya disofa, menjadikan salah satu lengannya menjadi bantalan, dan menghela nafas panjang setelahnya. Ini baru satu minggu, lalu bagaimana hari-harinya akan terlalui saat Bunda sudah tidak ada lagi disampingnya kedepannya?

Biasanya saat Johan sakit seperti ini, Bunda akan menyuruhnya untuk tidur dipangkuan Bunda dan Bunda akan menarik-narik rambutnya dengan gerak yang lembut sampai dia tertidur. Tapi sekarang Johan tidak bisa tidur dipangkuan Bunda lagi. Tidak bisa merasakan usapan tangan lembut Bunda yang menarik rambutnya. Tidak ada jeweran Bunda saat Johan melakukan kesalahan. Tidak ada Bunda yang memotong uang jajannya saat dia ikut bertempur dengan anak sekolah lain meskipun Johan yang mengajak semua anak sekolahnya untuk melawan anak SMA Nusantara. Tidak ada lagi masakan lezat toptop buatan Bunda. Dia hanya akan mengingatnya tidak untuk merasakannya kembali.

Sekali lagi Johan menghelaa nafas lelah. Laki-laki itu memejam, dia tersentak saat mendapati kepalanya diusap lembut oleh sesoarang dari arah belakang. Johan berharap itu Bunda, tapi saat Johan membuka mata bukan Bunda yang ada melainkan Lia yang tengah tersenyum sambil membawa satu kantong plastik yang Johan tau berisikan kotak bubur karna Transparan.

"Lia bikin kaget aja ahh." Johan duduk dan menaraik Lia untuk duduk dipangkuannya.

"Tadi aku udah Asalamualaikum-Assalamualaikum nggak ada yang jawab, aku pikir kamu tidur. Ehh ternyata lagi ngelamun disini, ngelamunin apa sihh?"

"Kita nikah aja yukk, Lia." Lia sontak melotot saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Johan.

"Jangan aneh-aneh Johan! Kita tuhh masih SMA masih banyak mimpi yang harus dikejar!" Lia tersulut karna jantungnya deg-degan.

"Tapi kita bisa ngejar mimpi disaat kita udah nikah. Kaya Bang Dovandi." Johan kekeuh ngajak nikah.

"Bang Dovandi siapa?" Lia menyerinyit bingung, pasalnya Lia tidak pernah mendengar nama itu.

Johan menelan ludahnya susah payah. "Senior kita." Johan beralibi meskipun semua alasannya itu benar. "Gini aja dehh, gimana kalo kita tunangan aja dulu? Nahh nikahnya abis lulus SMA. Gimana?" Lia mengaruk kepalanya bingung.

"Yahhh udah dehh, nanti aku pikir dulu mana mimpi yang nggak bisa digapai." Lia akhirnya hanya bisa berujar sedemikian rupa hanya untuk mendapat balasan dari Johan yang menurutnya sangat menyakitkan.

"Nikah sama Lee Jono eNCeToy yang Lia harep-harepin."

"Nameshimming! Namanya Lee Jeno! Johan! Bukan Lee Jono!!"

"Terserah! Dia nggak ganteng-ganteng amat! Cuma menang tenar doang. Johan juga bisa!" Johan membusungkan dadanya bangga.

"Enak aja! Johan mau dikeroyok NCTzen seluruh dunia karna udah ganti Neo Culture Technology jadi eNCeToy?!"

"Huhh eNCeToy! eNCeToy! Mau aja jadi korban buaya darat kaya Jono eNCeToy!"

Dan hari itu Johan mendapat tepukkan berulang-ulang kali karna tidak mau mengakui kalau dia cemburu dan karna dia sudah mengolok-olok nama seseorang yang sangat Lia harap-harapkan menjadi miliknya.

Tapi meskipun mendapatkan banyak tepukkan kasar dari Lia. Johan bersyukur. Karna kedatangan Lia mampu membuatnya lupa akan kesedihan karna ditinggal Bunda untuk selama-lamanya.

Break sebentar!!!

Mau kasih note!

= Jangan lupa vote dan komen!

Makasihh <3

{1} Penyesalan | Lee Jeno✔ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang