#033

214 46 118
                                    

Ikhlas itu bohong. Yang ada terpaksa lalu terbiasa, gitu alurnya.

[Tertanda, Raga]
•••

Sore berlalu cepat. Awan hitam bergelung memenuhi setiap jengkal langit. Gerimis turun membungkus kota saat lampu mulai dinyalakan satu persatu. Kilau tajam petir dan suara menggelegar guntur menjadi pengiring awal malam.

Raga duduk di ruang keluarga, menemani Bunda yang menonton televisi. Sialnya, tetap saja pikiran cowok itu kemana-mana. Terutama masalah hati, sudah lama Raga tidak merasakan jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta pada seseorang malah rumit.

Raga mengeluh dalam hati, Sepandai-pandainya manusia berjalan, pasti akan jatuh cinta juga. Sial.

"Bunda, Ayah udah telepon lagi?"

"Sudah. Tumben kamu nanyain Ayah kamu?" tanya Salma.

"Ayah bilang kapan pulang?" Raga memperbaiki posisi duduk, membiarkan kedua kaki terlipat diatas sofa.

"Sampai urusan pekerjaannya selesai. Belum tahu persisnya." Salma menghela napas tipis. Raga hanya manggut-manggut, tidak bertanya lagi.

Sekarang pukul delapan, gerimis berubah menjadi hujan deras. Bunda menyuruh Raga makan malam lebih dulu. Acara sinetron Salma sedang menarik-menariknya dan ia tidak ingin melewatkan bagian apapun. Raga mengangguk, segera bangkit lalu mengambil makanannya di dapur.

Seusai makan, Raga kembali mendekat ke arah Salma membawa satu piring nasi lengkap dengan lauk pauknya. Sembari mengatakan sesuatu, "Bunda makan, udah waktunya makan. Raga nggak mau lihat Bunda sakit." Seraya mendaratkan satu kecupan hangat di kening Salma.

Salma tersenyum, ia membalas ciuman kasih sayang anaknya. Lalu mengusap rambut Raga lembut. "Iya Bunda makan." Salma menerima piring Raga.

"Hari ini gimana sekolah kamu?"

"Nothing special." Raga menjawab singkat, seraya mengendikan bahu.

"Temen-temen kamu jarang kesini. Mereka sudah punya pacar memang?" Salma menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Raga menoleh, "Dito sama Jalu masih sama, jomblo." Beberapa detik kemudian Raga terkekeh. "Kalo Nevan dia udah ada cewek."

"Kalo Raga?" Bunda terlihat menahan tawa, menyuapkan kembali sesendok nasi ke dalam mulut.

Refleks Raga mengusap tengkuknya. Benar dugaan Raga sebelumnya, Salma pasti punya amunisi untuk menggoda kembali putra nya itu.

"Kalau Bunda mau menggoda Raga, itu nggak lucu." Raga cemberut galak.

Salma tetap tertawa. "Jagoan Bunda ganteng kaya gini belum ada yang mau? Masa iya nggak laku, hmm?"

Raga menelan ludah susah payah, ia hampir membanting remote televisi yang tergeletak di sampingnya.

Gue nggak laku?! batinnya tidak habis pikir.

Pukul sembilan, hujan deras mereda. Raga menyuruh Salma tidur lebih dulu. Salma menolak, ia masih ingin menonton acara televisi. Malahan Bundanya itu balik menyuruh Raga untuk tidur lebih dulu. Raga mengangguk, lantas segera bangun dan berjalan menaiki anak tangga.

Meski sudah masuk ke dalam kamar, Raga tidak bisa segera tidur seperti malam sebelumnya.

Raga mengambil sebatang rokok, menyulut ujung benda itu dengan korek, perlahan menghembuskan asapnya seraya menatap kerlap-kerlip lampu diantara jutaan tetes air, lewat sela-sela tirai jendela. Raga menghela napas, "Semoga lo jatuh pada cinta yang tepat, Na." Refleks Raga kembali menghembuskan asap.

Raga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang