#037

213 32 70
                                    

Selamat Membaca!
-
-
-
🌵

Selamat Membaca!---🌵

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi kembali datang.

Seluruh murid kelas IPA 1 sudah berkumpul di lapangan Adhistama. Pagi ini semburan cahaya matahari begitu terik, udara panas menjalar menggerogoti tubuh.

Masih pukul setengah delapan tapi terasa seperti pukul dua belas siang. Sesekali beberapa anak terlihat menyeka keringat, bukan hanya karena ulah sang mentari melainkan juga faktor dari pemanasan sebelum olahraga.

"Jal, punggung gue kelihatan banget nggak basahnya?" tanya Dito pada Jalu yang baris tepat dibelakangnya.

"Kaya habis mandi!" celetuk Jalu.

Pemanasan kali ini dipimpin oleh Raga. Cowok dengan tubuh tegap atletis itu mempergakan gerakan demi gerakan dengan baik.

Seusai melakukan pemanasan, murid IPA 1 dipersilahkan untuk duduk di hamparan lapangan. Bersiap mendengarkan penuturan dari si guru olahraga.

"Hari ini kita akan praktik bola voli. Sebelumnya, ada yang punya riwayat patah tulang di bagian tangan?" tanya Asep mengabsen satu persatu wajah anak didiknya.

"Nggak ada, Pak!" jawab seluruh siswa serentak.

"Eh, ada Pak!" Jalu mengangkat tangan. Mencoba meralat seruan teman-temannya yang lain.

"Kamu pernah patah tulang, Jalu?"

Jalu cengengesan, menggaruk tengkuknya. "Bukan patah tulang, Pak. Riwayat patah hati maksud saya."

Sontak semua orang menyoraki Jalu keras, termasuk Pak Asep yang mendadak gedek dengan humor receh muridnya itu.

"Kalau kaya gitu, saya juga punya!" ketus Asep membuat semua siswa tampak merespons dengan gelak tawa.

"Yah, si Bapak! Ngikut aja."

"Sudah-sudah, kembali ke topik." Dirasa akan semakin ngelantur jika anak didiknya ditanggapi, Asep segera mengalihkan topik. "Dito, coba sebutkan teknik dasar bola voli yang kamu tahu."

Dito menjentikkan jari, "Menangkap, melempar, melambung, menggelindingkan."

"Nomor absen berapa kamu?" tanya Asep.

"Sembilan, Pak." Wajah Dito sumringah, "Asik, gue mau ditambahin nih nilainya."

"Jangan lupa Pak kasih seratus!" tambah Dito membanggakan diri sendiri.

"Jangankan seratus, mines satu saja saya nggak sudi! Saya kasih kamu min nol!"

Sontak mata Dito melebar, semua murid menahan tawanya. Asep benar-benar tidak habis pikir.

"Jangan, Pak!! Saya becanda Ya Allah, Pak. Jangan baperan lah Pak, lagian saya cuma becanda," rengek Dito takut-takut guru olahraganya akan melakukan hal setega itu.

Raga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang